Laman

Wednesday, December 11, 2019

Nostalgia via Video Call

Hay Wankawanka! Selamat datang kembali di Blog Petualang Labil, blognya orang yang suka jalan-jalan tapi dalam kondisi jiwa yang tidak stabil. Bagaimana kaka dorang punya tahun 2019? Impressive? Well setelah kemarin sempat ditolak akhirnya Petualang Labil bisa menerima kenyataan itu.

“Yang tidak menyapa balik dia anggota DPR,” 

Nah, kali ini Petualang Labil bersama Puput dan Vester akan membawa Wankawanka sekalian menuju satu tempat di Kabupaten Sikka, tempat yang lumayan jauh dari keramaian Maumere, ibukota Kabupaten Sikka.

Tempat itu adalah Seminari Ritapiret! Btw, persinggahan ke Seminari Ritapiret ini masih dalam perjalanan hari pertama Petualang Labil bersama Vester dan Puput di Kabupaten Sikka. Sebelumnya Labilers sudah bertandang ke Lela, dalam perjalanan pulang dari Lela kami memutuskan singgah dulu di Seminari Ritapiret.


Seminari Ritapiret ini adalah tempatnya para calon imam dalam Gereja Katolik menempuh pendidikan. Tentu, kehidupan yang dijalani berbeda dengan pelajar maupun mahasiswa pada umumnya. Para calon imam tersebut diwajibkan untuk tinggal pada asrama yang telah disiapkan oleh Seminari. Percaya lah, pembaca, kehidupan berasrama itu penuh dengan warna yang berbeda dengan kehidupan orang muda lainnya.

“Siapa suruh lu dulu tidak lanjut ke sana?”

Letaknya Seminari Ritapiret berada di Nita, Kabupaten Sikka tentunya. Mengapa Labilers singgah di tempat ini? Well, tak lain dan tak bukan karena ingin melihat sebuah kamar yang pernah digunakan oleh Paus Yohanes Paulus II. Biar kita bisa memahami sudut-sudut Ritapiret, perjalanan ini dipandu oleh Frater Theo (Selanjutnya ditulis Fr. Theo).


“Eh, tunggu, beta video call b punya bapa do,”

Puput segera saja mengambil handphone dari dalam tas miliknya.

Tut.. Tut.. Tuut..

“Hallo Puput?”

“Heh bapa, ini video call bukan telepon biasa, jangan taruh di telinga begitu,”

“Oh, iya ewh, bapa sonde sadar,”

Vester dan Fr. Theo cengengesan. Petualang Labil mending foto-foto dulu, takut tertawa, nanti disanksi.
 
“Aih kampret tuh bocah, nanti baru bapa cubit di ginjal,”


Yah, sembari video call bersama Si Bapak, Labilers masuk ke dalam kamar yang pernah digunakan oleh Paus Yohanes Paulus II waktu mengunjungi Sikka pada tahun 1989.

“Lu masih di lutut choeg,”

Kamar milik Paus yang bernama asli Karol Josef Wojtyla tersebut terdiri dari dua kamar besar. Satu di depan sebagai ruang tamu, dan yang kedua sebagai kamar tidur. Pada bagian ruang tamu, menurut Fr. Theo belum ada perubahan dekorasi seperti saat kedatangan Paus Yohanes Paulus II.



“Kalau foto-foto ini pasang setelah beliau pulang dari sini,”

Sementara itu,

“Ini Bapa, ketong sekarang di Bapa Paus punya kamar,”

“Coba kasih dekat lagi dengan itu Tabernakel,”

Tabernakel tersebut berisikan relikui berupa darah dari Paus Yohanes Paulus II. Btw Puput, silahkan lanjutkan video callnya.

“Waktu itu Mgr. Stanislao Dziwisz yang mengantarkan langsung dari Vatikan ke Ritapiret,” jelas Fr. Theo.


Selepas melihat kamar, kami sedikit berkeliling melihat kapela, aula, ruang makan anak seminari, juga lapangan basket dan lapangan sepakbola sambil Puput menjelaskan pada Si Bapak yang sedang bernostalgia.

“Ah, ini pagar belakang di pekuburan nih dulu Bapak sering panjat untuk bolos,”

Wahh, Bapakkkk!? Bapak Naruto!?
 
Akhirnya senja menjemput, setelah berkeliling dan melihat tempat bolos Si Bapak, kami memutuskan untuk segera pulang.

“Pulang? Sabar dulu. Kita harus singgah Nilo,”

“Nilo kalau malam bagus. Sudah ada lampu di sana, kakak mereka bisa lihat Maumere dari sana,”

“Gimana? Nekat?”

“Ja’o nih melangkah bersama angin, jadi kemana saja let’s go. Mau bertemu suster lagi juga boleh,”

Baiklah, kami pun berterima kasih kepada Fr. Theo yang sudah menemani Labilers berkeliling di Seminari Ritapiret. Semoga mereka yang sedang belajar di Seminari Ritapiret bisa menjadi Gembala yang baik, yang mencari hingga satu domba yang tersesat dan membawanya kepada kawanan domba lainnya. 


“Puput, masih ingat jalan ke sana?”

“Dulu ke sana siang hari jadi aman. Tapi kalau hampir malam begini kayanya masih ingat,”

Kayanya!?

Berpasrah pada takdir kami pun menjalankan motor kami menuju Nilo. Kita akan memasuki “Tersesat di Bukit Nilo” pada edisi Blog Petualang Labil berikutnya. Terima kasih yang sudah membaca, yakinlah kalian tidak akan bertumbuh dewasa setelah membaca blog ini. Yang penting tetap menjaga alam dan lingkungan, kita tetap menghormati bumi dan segala kebudayaan dan perbedaan yang hidup di atasnya. Saat melakukan perjalanan jangan membuang sampah sembarangan dan hindari tindakan vandalisme. Salam lestari, salam Petualang Labil.

Monday, November 11, 2019

Wisata Religi Lela

“Bangun woyy, bangun!”

Gilak! Ini orang-orang tidur apa lagi geladi meninggal? Sudah jam 08.00 wita, kapan siapnya, kapan berangkatnya coba kalau sudah siang seperti ini?

“Masak dolo te, sarapan habis baru kamu tiga jalan-jalan.”

Oh, Petualang Labil lupa menyapa para pembaca. Hay, Wankawanka! Gimana besong punya kabar di bulan ini. Mendekati akhir tahun ini, semoga rejeki kalian masih lancar-lancar saja yah.

“Ini sapa pung air liur nihh!?”

Sorry, pagi di rumah emak kos memang berantakan karena ulah orang-orang yang pantas jadi anggota DPR ini. Semuanya baru pada siuman waktu matahari udah keburu bersinar. Seperti yang Petualang Labil janjikan di tulisan Petualang Labil sebelumnya, OTW Sikka, edisi kali ini Petualang Labil akan membahas lanjutan Petualang Labil di Maumere, dan jadwal kita adalah pergi ke Lela.


Yang belum tau Lela itu tempat seperti apa, dan kalau ada yang ingin mencari informasi tentang Lela, silahkan dipantengin sampai habis blog ini. Pantengin aja sampai DPR merevisi UU Tentang KPK.

Lela adalah sebuah nama tempat di Kabupaten Sikka, terkenal akan Gereja Tua Buatan Portugis, dengan gaya yang benar-benar Portugis medio 1800-an. Cikal bakal agama Katolik di Kabupaten Sikka itu berawal di sini Wankawanka, makanya tema kita hari pertama adalah Wisata Rohani.

Perjalanan ke Lela dari Maumere memakan waktu hampir satu jam. Tinny dan Luis belum bisa bergabung menjadi Labilers karena mereka masih harus bekerja. Jadi cuman Puput, Vester, dan Petualang Labil yang jalan-jalan. Ditambah, ditambah nih yah, seorang perawat, biasa disapa Suster juga sama anak-anak kecil di Lela, Ellyn Bu’e, yang menemani perjalanan Labilers kali ini. Kebetulan si doi kerja juga di Rumah Sakit Lela, jadi bisa diajak jalan-jalan.


Tidak ada foto bersama.

Well then, kita sampai di Lela menggunakan sepeda motor. Pantai pasir hitam Lela membuka jalan menuju tujuan kami, Gereja Lela, atau yang sering disebut sebagai Gereja Sikka, atau yang bernama asli Gereja Santo Ignasius Loyola. Kami disambut oleh seorang bapak yang bertugas menerima tamu yang ingin berkunjung.


“Nanti tolong beri sedikit sumbangan ke gereja untuk pemeliharaan bangunan ini.”

Begitu dipersilahkan, Labilers langsung masuk ke dalam bangunan gereja. Tidak seperti kebanyakan gereja yang dibuat dari semen, gereja ini masih mempertahankan corak aslinya menggunakan kayu jati. Pun langit-langit dan tiang yang didominasi oleh kayu jati. 


Dan yang membuat berkesan adalah corak tenun daerah yang memang tidak dapat dilepaskan sebagai bentuk akulturasi antara agama dan kebudayaan setempat. Corak tenun digambar sepanjang bagian kiri dan kanan gereja. Bentuknya juga menyerupai sebuah istana, sesuai desain bangunan mewah pada masa itu. 



Di bagian luar gereja terdapat lapangan kecil yang menjadi halaman gereja. Sebelah kirinya adalah pesisir Pantai Lela sedang bagian kanannya adalah pekuburan umum yang kental sekali dengan nuansa Katolik. FYI, gereja ini dikelola oleh Keuskupan Maumere yah Wankawanka. Dan, di sini sering diadakan upacara Logo Senhor, yang dilakukan dalam bahasa Portugis, dan masih bertahan sampai sekarang. Biasanya dilaksanakan saat Katolik memasuki Tri Hari Suci sebelum Paskah.


Sesudah melihat-lihat dan mengambil gambar, kami sepakat untuk berpindah tempat ke Sanctuarium Fatima Lela. Kita harus kembali lagi ke Rumah Sakit Lela karena letaknya dekat dengan Sanctuarium Fatima Lela. Ini adalah satu dari tempat ziarah yang juga Petualang Labil ceritakan dalam edisi kali ini.


Sanctuarium ini letaknya mengikuti bentuk bukit, jadi posisinya memang sangat landai. Undakan pertama kita bisa langsung melihat altar, dan juga seorang bapak yang sedang menyiram tanaman.

“Misi om.”


Ellyn bercerita kalau para Orang Muda Katolik di Keuskupan Maumere sering berkumpul di tempat ini untuk melakukan kegiatan berdoa bersama. Benar saja, selain altar masih terdapat banyak sekali ornamen-ornamen khas Katolik di tiap sudut Sanctuarium Fatima Lela ini.

“Kemarin pekan OMK di sini orang tumpah-ruah kaka, terlalu banyak.”

Kita berniat untuk berjalan hingga ke puncak Sanctuarium agar bisa melihat Lela dari perpektif yang lebih luas lagi, melihat Lela secara tajam, setajam tatapan matamu yang selalu saja menembus masuk ke dalam hatiku.

“Mari sini kaka, biar saya kasih tau jalannya.”

Ellyn memimpin pendakian kecil ini. Semenjak dari awal jalan dia tidak banyak bicara. Mungkin dia takut lipstiknya luntur. Mungkin, kan mungkin. Tapi yang Petualang Labil akui bahwa, cewek ini tidak merasa lelah saat Labilers mendaki melewati tiap anak tangga.


“Eih, begini saja capek ini. Merindu tuh lebih capek ka nong daripada jalan ini sedikit ke atas.”

Mamkita unggul banyak suh. Kita ngos-ngosan dianya senang.

Landscape yang terpampang dari atas sini langsung memanjakan mata Petualang Labil. Buat apa beristirahat kalau kesempatan ini sampai dilewatkan?



Dan, begitulah pada akhirnya Petualang Labil harus menutup seri Wisata Rohani di Lela. Sudut selatan Kabupaten Sikka ini memang punya daya tarik yang besar. Bukan cuman wisatanya, tapi juga du’a nya lohh.

“Ciahhhhh, suster yah?”

Susternya kita kembalikan lagi ke Rumah Sakit Lela. Selamat melayani dan tetap semangat yah suster. Kitanya mau melanjutkan perjalanan ke Seminari Ritapiret dulu, kebetulan sejalur dengan arah pulang jadi susternya tidak bisa diajak. Apa yang akan Labilers tuju di sana? Kalau kalian penasaran, jangan lupa untuk pantengin blog ini bulan depan, special Nostalgia via Video Call Whatsapp. Sampai jumpa, jaga selalu keindahan bumi kita, salam lestari, salam Petualang Labil!

Tuesday, October 8, 2019

OTW Sikka

Wuhuuu! Wankawanka! Bertemu lagi di Blog Petualang Labil, blognya blogger amatiran! Mengawali tulisan ini, Petualang Labil ingin meminta maaf untuk keterlambatan Petualang Labil kembali hadir ke hadapan para pembaca yang budiman nan suci dan tak berkalang noda, yang mana seharusnya sebulan sekali malah menjadi undur dua bulan, karena ada beberapa kesibukan yang memang sulit untuk dihindari. Sibuk bertahan hidup dalam kesendirian.

Nah, untuk tidak membuang waktu, mungkin kalian sudah terkencing-kencing ingin membacanya, Petualang Labil akan menceritakan perjalanan Petualang Labil bersama Puput Mandaru dan Vester Bili saat berada di Maumere. Eh, lupa juga emak kos Tinny Bhoka dan bapak kos Luis Penu. Panggil kami Labilers!


Perjalanan kita ke Maumere menggunakan ferry dari Kupang via Larantuka, bersama rombongan Epank Tallo bersama keluarga untuk menghadiri hajatan sambut baru. Kami menghabiskan sekitar dua belas jam perjalanan laut. Enakkan juga pakai ferry daripada pesawat. Sunset di tengah laut, adalah alasannya.



Oh, Tanah Nagi, kau membuatku merindukan sengatan matahari yang terik itu. Tak apalah, beristirahat sekitar dua jam, kami menghabiskan tidur kami di rumah milik Ka Adi dan Ka Uchy, kerabat Labilers sewaktu mereka masih berada di Kupang. Enak juga punya banyak teman, kenalan, keluarga, kalau numpang-numpang istirahat kek begini kan tidak kesulitan.


Kami langsung menuju ke Maumere setelah kami beristirahat.

“Ete, su pernah pi Maumere pake bis?”

“Belum.”

“Okey, cari ojek..”

Kami berangkat barang pukul 10.30 Wita. Terima kasih banyak ka Adi yang sudah memesan bis untuk menjemput kami di rumah. Buat ka Uchy, terima kasih juga untuk masakannya sebelum kami berangkat ke Maumere.

“Nanti kalau Ade sambut baru nah kamu datang ke sini ewhh, jangan cuman ke Maumere hanya cari du’a saja ewhh.”

Firasatku agak kurang enak nih.

Bis melaju pelan, menghancurkan setiap kelokan trans Flores. Perjalanan menyenangkan karena suguhan pemandangannnya tidak dapat membunuh rasa bosan dalam perjalanan. Agak gundah juga karena bis berjalan agak pelan, tapi tidak apalah, karena keselamatan tetap menjadi nomor satu dalam kegiatan apapun yang kita lakukan.

Ngomong-ngomong, singgah dulu yah. Ini adalah Tanjung Dungbata, keindahan landscape bukit dan laut dalam satu pandangan mata, serta Pulau Konga yang menyendiri tapi tetap asik, seperti Petualang Labil. Tempat ini memang jadi tempat transit favorit. Petualang Labil juga lihat di akun facebook teman dan meminta supir bis untuk singgah barang 10 menit untuk mengambil beberapa gambar tempat ini.



Selepas foto dan mengambil gambar video, kami lalu melanjutkan perjalanan. Pukul 15.00 aroma Maumere mulai tercium di batang hidung Petualang Labil. Bergidik sudah bulu-bulu roma, tak sabar mengeksplorasi tempat yang untuk kali kedua Petualang Labil datangi. Kedatangan Petualang Labil yang pertama ada di sini.

Kita diturunkan di terminal pada pusat kota Maumere. Selama memasuki kota Maumere, Petualang Labil membangun komunikasi dengan Unni, kerabat Petualang Labil.

“Kalau sudah sampai nanti WA saja,”

Okey sekarang sudah sampai, dan Petualang Labil lupa memberi kabar. Dengan penuh kebingungan Labilers duduk di pinggir jalan, menanti Puput yang sudah sampai dahulu menggunakan pesawat.

“Ete, lihat itu orang, siapa yang bawa motor ngangkang begitu?”

Makin dekat orang itu kepada kami, PUPUT!? 

“Weh susah weh, beta bawa koper nah, sonde ada tempat buat pijakan nah makanya beta bawa motor kek ngangkang begini.”

Setidaknya kami sudah berkumpul. Rencana awal kami adalah menginap di rumah emak kos, tapi tidak ada satupun dari antara labilers yang mengetahui dimana rumah emak kos. Mana motor kurang satu, apa yang harus kami lakukan?

Emang rejeki gak pernah jauh chuy. Waktu otak kami hampir jatuh karena putus asa tidak bisa dipakai, munculah Unni melintas di depan kami.

“Hihh, untung kakak teriak tadi kalau tidak saya dengan kakak In su lewat. Tapi hebat bisa tanda kami padahal kami tidak lihat kakak mereka ada duduk di sini.”

Aduh Unni, untung lah engko lewat, kalau tidak kami tidak bisa sampai rumah emak kos. Emak kos juga belum pulang kerja jadi pilihan terakhir tanpa Unni ialah menunggu emak kos pulang kerja, kami luntang-lantung sodara sodara.

Singkat cerita, kehadiran Unni dan Ka Indri membantu kami untuk bertemu dengan induk yang siap menampung kami saat berada di Maumere. Kami diantar sampai Centrum, alamat rumah emak kos.

Pertemuan mengharu-biru, air mata kebahagiaan mewarnai pertemuan tersebut. Ingus juga tidak mau kalah keluar dari hidung. Emak kos yang sudah lama pindah ke Maumere perlahan curhat kalau di Maumere pun dia masih menjomblo.

“Ah, kita sama mak.”

Yuhu, makan malam, mandi, cuci pakian dulu, dan kita memulai pemanasan sebelum esok mulai eksplorasi Kabupaten Sikka dan sekitarnya. Rencana matang bos, tapi nanti lihat pelaksanaannya. Tapi malam ini kami ingin melihat langsung Monumen Tsunami. Ah ya, sebelum berangkat, bapak kos a.k.a Luis Penu muncul. Kami berlima langsung berangkat.

“B senang ewh besong datang...”



Juga kami mengunjungi Patung Kristus Raja Semesta Alam. Letaknya di Kota Uneng. Di sini kami menyalakan lilin dan berdoa. Vester berdoa khusus minta jodoh.

Ada cerita yang menarik untuk Petualang Labil beritakan. Menurut cerita, pada tahun 1992 saat Tsunami menghantam Maumere, Patung Kristus Raja membalikkan badannya dan membentangkan tangannya. Sontak air yang berusaha menggaruk patung itu untuk dijatuhkan terbelah menjadi dua dan terus menghantam bangunan sekitar patung. Setelah semuanya selesai, Patung Kristus Raja kembali ke posisi semula.

Saat berkunjung dan berdoa di hadapan Patung Kristus Raja pun suasana magis memang sangat kental. Khusuk adalah kesan pertama yang didapatkan. Bahkan untuk foto pun kita disarankan untuk mengambil jarak agak jauh dari Patung Berwarna Emas tersebut.


Selesai menyusuri beberapa tempat ikonik di Maumere, kami kembali ke rumah untuk beristirahat. Lanjutan trip di Maumere akan diawali dengan Wisata Rohani ke Lela. Gereja ikonik ala Portugis yang dibuat pertama kali di Maumere. Ikuti terus Blog Petualang Labil untuk melihat keseruan kami dengan kelucuan, romantisasi setiap sudut perjalanan dan kenangan yang berbaris. Ingat Wankawanka, saat trip jangan buang sampah dan melakukan vandal. Perjalanan adalah tentang belajar menghargai, jadi, jadilah orang baik mulai diri kalian sendiri. Salam Petualang Labil!

Tuesday, July 2, 2019

Batu Marmer Tunua

Yeahuu! Hay Wankawanka, apa kabar kalian semua!? Wish everybody health and good! Petualang Labil sendiri? Yah, saya juga dalam keadaan yang sehat dan baik-baik saja dicampuri sedikit rasa galau, sebab dulu salah ambil jurusan waktu kuliah.

“Kasihan lu, tong”

Petualang Labil menyesal kenapa dulu tidak mengambil jurusan Teknik Sipil saat kuliah. Sekarang baru Petualang Labil merasakan akibatnya. Kalau saja dulu kuliahnya Teknik Sipil, jangankan bangunan, masa depan kita pun akan abang bangun sebaik mungkin.

“Bacot lu bang, habis dihantam suanggi lu tong?”


Sudah lebih dari sebulan ini Petualang Labil vakum tidak mengupload cerita Petualang Labil, soalnya nih, Petualang Labil juga sekalian lagi latihan untuk membuat video perjalanan Petualang Labil bersama teman-teman Labilers. Jadi dibuat selang-seling, blog, lalu vlog, lalu blog lagi, vlog lagi, dan begitu terus-menerus. Harapannya, semoga Petualang Labil makin mumpuni biar pembaca blog dan penonton di YouTube tidak menunggu terlalu lama.

Edisi bulan Juli ini, Petualang Labil akan mencerita tentang perjalanan Petualang Labil menuju ke sebuah desa yang sering salah disebutkan orang-orang. Wankawanka pernah dengar Desa Fatumnasi? Sering dijuluki Garden of Eden, Fatumnasi sangatlah indah. Salah satu incaran instagramers adalah batu marmer. Karena sangat erat, hampir semua spot yang ada batu marmer di sana sering disebut terletak di Fatumnasi.


Ternyata, tidak semuanya. Selain berada di Fatumnasi, juga Fatunausus, obyek wisata batu marmer juga terletak di Desa Tunua, Kecamatan Mollo Utara Kabupaten Timor Tengah Selatan. Banyak orang yang mengambil gambar di  Desa Tunua menyebut tempat tersebut sebagai Fatumnasi, padahal sudah berbeda lokasi. Batu Marmer Desa Tunua inilah yang akan Petualang Labil ceritakan edisi bulang Juli ini.

“Teliti lu tong, sekalian teliti juga tuh masa depan.”


Labilers kali ini kita punya Engki sebagai @1st.omen_jr dan Ipit sebagai @ipitsaja, serta Ririn sebagai @_ririnpanie_. Untuk Ririn sepertinya agak special, karena ini baru pertama kalinya kita menapaki jalan labil untuk yang pertama kalinya. Presiden yang paling alay sedunia siapa hayoo?

“Kim Jong Unchhh Unchh Unchh,”


Nah perjalanan dimulai dari Kota Kupang. Bagi yang sudah biasa pergi ke Mollo Utara pasti sudah terbiasa kan? Iya kalau belum buat apa saya menyebut “sudah biasa pergi” tadi? Untuk yang berencana ke sana, Mollo Utara itu cukup jauh, sekitar tiga jam lebih perjalanan darat dari Kota Kupang. Siapkan fisik yang fit juga, fisik yang fit adalah bagian dari perjalanan. Tapi Wankawanka, Mollo Utara itu di India bukan ya?

“Itu Mollo Uttaran tong,”

Yang membedakan Desa Tunua dengan Fatumnasi adalah pertigaan yang ada tugunya (sorry lupa foto), ambil jalan kanan ke Desa Tunua, kalau ke Desa Fatumnasi ambil jalur bagian kiri. Nanti kita akan menjumpai pertigaan dan ambil belok ke kiri, kita akan disambut tugu masuk Desa Tunua. Sampai di sana ambil belokan ke kiri. Kalau Wankawanka ragu silahkan bertanya kepada masyarakat desa, mereka dengan senang hati akan menunjukkan arah ke lokasi bekas tambang marmer.


Dari Desa Tunua kita bisa melihat puncak bukit batu marmer yang sudah ditambang. Posisi pastinya berada di Dusun Dua. Letaknya memang yang paling tinggi di antara dusun lainnya. Hati-hati juga dengan jalannya, yang membuat Ipit gugup setengah mati, baru kenal Tuhan kalau ketemu dengan jalanan yang membuatnya gugup.

Kita pun sampai juga ke lokasi bekas tambang marmer. Di pintu masuk terpampang jelas batu yang bertuliskan perusahaan yang menambang marmer di Desa Tunua. Petualang Labil bersama Labilers memilih untuk memarkir motor di rumah warga dan berjalanan kaki dari pintu masuk ke bekas lokasi tambang. Ciri khas bekas tambang marmer Tunua terpampang jelas, batu dengan bentuk persegi, ukurannya besar, ada yang dibiarkan berserakan ada pula yang disusun menyerupai benteng, dalam dekapan dingin halimun.


Kedatangan kami memang kurang begitu menyenangkan karena sudah sekitar jam 15.00, kabut sudah mulai menutupi bekas lokasi tambang marmer tersebut. Mungkin seperti itulah yang dirasakan Labilers. BERUNTUNG! Bagi Petualang Labil, karena sebelumnya sudah pernah datang ke lokasi ini, dan tidak ada halimun yang menghalangi pemandangan sekitar. Kalian yang penasaran seperti apa tempatnya tanpa kabut bisa dilihat di sini dan instagram Petulang Labil.


Banyak sekali pengunjung yang datang, bahkan ada keluarga yang datang menggunakan tangki air. Ajaib benar daya tarik lokasi ini. Kami naik ke puncak bukit batu, dan halimun makin lama menelan kami. Beberapa gambar mungkin sudah cukup, kami memungut beberapa sampah plastik yang berserakan, dan kami memutuskan untuk kembali ke Kupang setelah menghabiskan waktu kami di sana.

“Itu yang masih buang sampah sembarangan itu, otaknya mungkin jatuh di jalan. Datang dari kota, lalu mengotori desa orang, MALU woyy!”

Nah seperti biasa, pesan Petualang Labil, jangan buang sampah sembarangan yah Wankawanka. Jangan juga bertindak vandal. Apa susahnya coba, misalkan air minum, tidak perlu membeli air minum kemasan, beli saja botol air, lalu airnya dibawa dari rumah. Wankawanka sudah melakukan banyak kontribusi, bukan hanya tidak meninggalkan sampah botol plastik, tapi juga mengurangi penggunaan sampah plastik. Kalau bawa snack, bungkusannya bisa disimpan di dalam tas, ketika pulang ke rumah baru di buang ke tempat sampah.

“Begini kaka, kalau mau makan dan tidak mau pusing dengan bungkusannya, mending kaka makan sekalian dengan bungkusannya,”

Tumben, sehat lu tong?

“Sehat tong, cuman istri saya yang batuk,” by Uus.


Demikian cerita Petualang Labil. Terima kasih kepada Labilers yang sudah menemani Petualang Labil, semoga Ririn tidak bosan, soalnya dia yang sering keram saat di perjalanan. Terima kasih juga wankawankan yang sudah buang kuota dan masa depan membaca Petualang Labil edisi Juli 2019. Semoga pariwisata NTT makin maju, lingkungan kita tetap terjaga, sejahtera juga masyarakatnya. Salam Petualang Labil!

Friday, April 26, 2019

Berburu Senja di Baliana

Heyy guys! Here we are again! Petualang Labil kembali menyapa kalian semua dalam kesempatan yang kurang berbahagia ini. Kurang bahagianya karena sebelum dan setelah pemilu, sepertinya tidak ada kedamaian. Maksud Petualang Labil, kenapa coba harus saling menjatuhkan hanya karena berbeda pilihan politik? Memang dunia ini bubar setelah 17 April? C’mon people!


Karena masih berada di hawa panas perpolitikan, Petualang Labil akan menyegarkan Indonesia dengan postingan baru, yaitu Berburu Senja di Baliana.

“Persahabatan bagai kepompong, na na na na na na..”

Cerita Petualang Labil kali ini akan ditemani teman-teman Labilers. Siapa saja? Mereka adalah @ipitsaja si cewek kurus imut dan menggemaskan, merupakan teman masa Sekolah Dasar Petualang Labil guys. Lalu ada @1st.omen_jr yang merupakan teman semasa Sekolah Dasar Petualang Labil, juga @johanes_jovan teman semasa Sekolah Dasar Petualang Labil. Singkatnya, mereka adalah teman Sekolah Dasar Petualang Labil. Dan juga Harun. 


Awal mula kenapa Petualang Labil menyasarkan diri ke Baliana karena melihat postingan instagram milik @marianasogen di sana. Setelah bertanya, Petualang akhirnya memutuskan ke sana bersama @johanes_jovan dan teman lainnya si Harun.

Kunjungan pertama ini bersifat survey jadi tidak terlalu intim. Bertiga, kami berangkat dari Kupang menggunakan sepeda motor. Perjalanan ditempuh sekitar 45 menit menuju Baliana yang letaknya di Kupang Barat. Kami menyusuri Jalur 40, Pelabuhan Bolok, Lalendo, tersesat di kumpulan semak PLTU Kupang karena GPS menipu.


“Loh, bukannya situ yang memang keliru baca GPS?”


Setelah menertawai kekonyolan, kami kembali lagi dan mendapatkan air laut yang perlahan surut. Ternyata Pantai Baliana harus melewati semak-semak Kayu Kuning. Jalannya batu putih yang mengeras secara alami. Matahari yang sebentar lagi terbenam merupakan petunjuk alami yang kami yakini. 

Pantai Baliana tidak seperti yang lainnya, tanpa hamparan pasir serta pohon kelapa menari disembur angin sepoi. Yang Petualang Labil jumpai adalah hamparan karang, benteng penahan abrasi yang sudah ada secara alami, membentang jauh. Karang-karang tajam menghujam, jadi jangan lupa gunakan alas kaki yang tepat. 


Survey ini kami hanya berkesempatan mengambil beberapa gambar. Petualang Labil juga mengambil beberapa gambar untuk keperluan video. Labilholic jangan lupa juga untuk melihatnya di kanal Youtube Petualang Labil.

Kesempatan berikutnya, Petualang Labil mengajak @ipitsaja dan @1st.omen_jr ke Pantai Baliana. Sudah ada gambaran keadaan pantai. Labilers kemudian bergegas untuk menyiapkan semua perlengkapan seperti kamera untuk foto dan video. Targetnya adalah matahari yang terbenam.

Di sela-sela kunjungan Labilers juga berbincang dengan Tika, anak kecil yang sedang menjaga hasil meting orang tuanya. Tika sedang memainkan rumput laut tatkala beberapa temannya datang dan mengajaknya untuk pulang.

“Beta punya mama masih di sana,” ujung jarinya menunjuk pada tiga perempuan yang berada di laut yang sedang surut.


Si @ipitsaja gila juga salah satunya. Ia berjalan tanpa menggunakan alas kaki, padahal itu berbahaya karena Bulu Babi.

“Pakai sandal woyy! Awas kena injak Bulu Babi. Lu mau kempes ko?” Hardik @1st.omen_jr.

“Eihh, @1st.omen_jr ambil b punya sandal dolo, b suh malas mau kembali,” balasnya.

Akhirnya @1st.omen_jr harus mengantar sandal milik @ipitsaja. Saat menyerahkan sandal tanpa sengaja tangan mereka bersentuhan, tumbuhlah benih-benih cinta, dan sejak saat itu hidup mereka menjadi bahagia selamanya. Setidaknya mereka tidak menjalin cinta saat musim Pemilu Presiden.

“Awas nanti tiba-tiba menghilang.”


Momen terbaik yang Labilers rasakan bukan pada saat matahari pelan-pelang kembali ke peranduan, melainkan beberapa menit setelah matahari tenggalam dan beberapa sebelum gelap. Menjadi keberuntungan kunjungan yang kedua ini karena petang itu langit jingga menjadi suguhan Tuhan atas kunjungan kecil Labilers. Awan yang berduyun-duyun bergiring rendah di atas kepala kami berbisik melalui angin.


Dan begitulah, ketika niat berburu sunset ini digabungkan dengan sedikit keberuntungan, maka pemandangan indah ini yang berhasil kami dapatkan. Sudah selayaknya Labilers bersyukur untuk momen yang belum tentu didapatkan oleh pengelana lainnya.


Keindahan ini harus terus dijaga. Harus terus dilestarikan. Caranya? Jangan buang sampah, dan jangan bertindak vandal. Petualang Labil berharap semoga kawasan ini bisa diperhatikan pemerintah. Jangan diprivatisasi, tapi dikembangkan menjadi daerah pariwisata untuk kemakmuran masyarakat sekitar. Akses jalannya sudah bagus, selanjutnya adalah tindakan kreatif dari pemerintah dan masyakarat sekitar.


Akhirnya, saya selaku Presiden Republik Labil mengucapkan selamat atas terpilihnya Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia yang baru. Semoga Indonesia menjadi jauh lebih baik dan pariwisata di Nusa Tenggara Timur bisa menjadi tempat yang gokil! Salam Petualang Labil.