Laman

Saturday, November 21, 2020

Buntung

Teater senja di Tanjung Kajuwulu sudah dimatikan ketika waktu menunjukkan pukul 18.38, atau mungkin kurang dari itu. Petualang Labil membereskan kamera dan tripod dan dimasukkan ke dalam tas. Saatnya menuruni puncak bukit Kajuwulu, dimana sebuah salib dengan kulit berupa keramik putih dipancang di sana menghadap ke lautan.

Teman-teman sudah menunggu di tempat parkir, tepat di anak tangga pertama bukit ini. Dan yang mereka lakukan..

“Motor milik Luis tidak bisa dinyalakan,” tandas Puput yang sedang membantu pencahayaan dari hapenya, diarahkan pada Luis dan Vester yang melangak-melongok mencari penyebab motor Jupiter MX itu mandeque.

“Stater kaki?”

“Sama juga, tidak mau,” timpal Nacha.

“Ini gara-gara lu yang lama nah Go, mana gelap pula,” sambung Chent.

“Wah sorry, soalnya moment ke sini susah terulang, jadi ada kesempatan yah sekalian direkam sunset tadi,” balas Petualang Labil.


“Sudah, nasib yang agak buntung kali ini. Coba Luis, motornya di dorong ke arah turunan di sana, posisi gigi set masuk,” hardik Vester sekalian memberikan saran. Untuk hal itu Nacha harus GTO (Gonceng Tiga Orang) bersama Puput dan Chent, sementara Vester bersama Petualang Labil. Ketika Luis set gigi masuk, motor itu nyala. Tanpa menunggu lama, ditarikanya tali gas motor itu sekuat tenaga, dan Luis, menghilang.

“Yah, dia pulang?”

Dari arah berlawan dalam perjalanan pulang, Luis berbalik dalam kecepatan yang tinggi, kemudian menyusul kami dari belakang.

Sejurus kemudian dari arah berlawan dalam perjalanan pulang ia berbalik dalam kecepatan yang tinggi, kemudian menyusul kami dari belakang.

“Luis, ko su dari belakang lai?” Puput terheran karena tidak sempat melihat Luis yang tadi melaju dalam kecepatan tinggi.

“Motor sudah kembali aman. Ayo Vester, naik ke sini lagi, biar Puput kembali supaya tidak GTO,” tandas Luis.

Labilers kembali pulang setelah sore ini berpetualang bersama. Petualang pertama hari ini dimulai dari Hutan Bakau di Magepanda yang dapat kalian baca di sini. Selepas pukul empat setelah menelusuri Hutan Bakau, kami memutuskan untuk menyaksikan Teater Senja di Tanjung Kajuwulu. Letaknya tidak jauh, hanya sejauh pacar lima langkah dari rumah padahal  jomblo. Kami memacu motor keluar dari tempat parkir dan meluncur ke Tanjung Kajuwulu.


Ini adalah kali kedua Petualang Labil berkunjung ke Tanjung Kajuwulu, yang pertama pada tahun 2018, bulan Januari. Kalau kalian belum membaca, ceritanya tinggal klik di sini. Waktu ini Petualang Labil cuman ditemani oleh Chent yang memang sudah setahun menetap di Maumere. Nah, untuk kali ini bersama dengan Labilers yang membuat perjalanan semakin seru.

Sebelum menapaki anak tangga bukit kami harus membayar karcis masuk dulu. Sore itu, karena bertepatan dengan tanggal merah, maka banyak sekali yang datang untuk berkunjung. Ada beberapa perubahan juga terjadi, beberapa diantaranya adalah pegangan di sini kiri anak tangga, dan sebuah bangunan seperti menara coast guard yang masih terlihat sangat baru di sisi kiri.

Perlahan kami menanjaki tiap anak tangga hingga berhenti pada sebuah titik kecil.

“Foto dulu yak,” ajak Nacha mengeluarkan handphone dan berselfie. Puput kemudian duduk beristirahat dan Chent mengempiskan perut disertai nafas yang dibuang keluar secara kasar.

“Isi perut jangan ewh kak."



Kami melanjutkan perjalanan ke atas mencari spot lainnya.

“Waktu itu saya juga foto di sana,” ucap Petualang Labil menunjuk pada satu spot.

“Okey aku difoto dulu di sini,” Puput langsung mengambil posisi dan, cekrekk..


Luis sudah berlalu terlebih dahulu setelah kami mengambil beberapa gambar. Kami berjalan pelan dari belakang, menuju ke puncak bukit. Beberapa pengunjung juga mengikuti dari belakang.

“Okey di sini saja, pas dengan matahari yang posisinya lurus,” cetus Petualang Labil sembari mengeluarkan tripod dari dalam tas. Kebetulan kami membawa dua buah kamera, jadi satu kamera digunakan untuk berfoto, satunya digunakan digunakan untuk merekam Teater Senja dari atas Tanjung Kajuwulu. 


Suasana yang menyenangkan dinikmati. Dari pagi, walaupun telat bangun, bermalas-malas ketika disuruh untuk bersiap, dan baru berangkat jam dua siang, tapi Labilers tetap menikmati sunset ini dalam sukacita. Kami tidak memikirkan tentang motor milik Luis yang sedang disabotase oleh waktu sehingga kami harus lebih bersabar ketika harus meninggalkan tempat ini, karena keindahan ini lebih pantas untuk dinikmati dalam sukacita.

Langit yang tadinya orange, menjadi ungu, dan gelap, mengantarkan petualangan hari itu selesai. Kami kembali ke rumah ibu kos dengan selamat. Kalau kalian bertanya siapakah ibu kos yang dimaksud, kalian harus membaca semua rangkaian perjalanan Petualang Labil bersama teman-teman di Sikka mulai sejak kedatangan, dan tentu saja untuk selalu membaca blog ini, karena Petualang Labil masih akan menceritakan perjalanan yang seru ke Kapela San Dominggo yang letaknya di Flores Timur, namun sebelumnya singgah sebentar untuk makan di acara sambut baru.


Terima kasih sudah membaca, salam lestari, salam Petulang Labil.