Laman

Monday, November 11, 2019

Wisata Religi Lela

“Bangun woyy, bangun!”

Gilak! Ini orang-orang tidur apa lagi geladi meninggal? Sudah jam 08.00 wita, kapan siapnya, kapan berangkatnya coba kalau sudah siang seperti ini?

“Masak dolo te, sarapan habis baru kamu tiga jalan-jalan.”

Oh, Petualang Labil lupa menyapa para pembaca. Hay, Wankawanka! Gimana besong punya kabar di bulan ini. Mendekati akhir tahun ini, semoga rejeki kalian masih lancar-lancar saja yah.

“Ini sapa pung air liur nihh!?”

Sorry, pagi di rumah emak kos memang berantakan karena ulah orang-orang yang pantas jadi anggota DPR ini. Semuanya baru pada siuman waktu matahari udah keburu bersinar. Seperti yang Petualang Labil janjikan di tulisan Petualang Labil sebelumnya, OTW Sikka, edisi kali ini Petualang Labil akan membahas lanjutan Petualang Labil di Maumere, dan jadwal kita adalah pergi ke Lela.


Yang belum tau Lela itu tempat seperti apa, dan kalau ada yang ingin mencari informasi tentang Lela, silahkan dipantengin sampai habis blog ini. Pantengin aja sampai DPR merevisi UU Tentang KPK.

Lela adalah sebuah nama tempat di Kabupaten Sikka, terkenal akan Gereja Tua Buatan Portugis, dengan gaya yang benar-benar Portugis medio 1800-an. Cikal bakal agama Katolik di Kabupaten Sikka itu berawal di sini Wankawanka, makanya tema kita hari pertama adalah Wisata Rohani.

Perjalanan ke Lela dari Maumere memakan waktu hampir satu jam. Tinny dan Luis belum bisa bergabung menjadi Labilers karena mereka masih harus bekerja. Jadi cuman Puput, Vester, dan Petualang Labil yang jalan-jalan. Ditambah, ditambah nih yah, seorang perawat, biasa disapa Suster juga sama anak-anak kecil di Lela, Ellyn Bu’e, yang menemani perjalanan Labilers kali ini. Kebetulan si doi kerja juga di Rumah Sakit Lela, jadi bisa diajak jalan-jalan.


Tidak ada foto bersama.

Well then, kita sampai di Lela menggunakan sepeda motor. Pantai pasir hitam Lela membuka jalan menuju tujuan kami, Gereja Lela, atau yang sering disebut sebagai Gereja Sikka, atau yang bernama asli Gereja Santo Ignasius Loyola. Kami disambut oleh seorang bapak yang bertugas menerima tamu yang ingin berkunjung.


“Nanti tolong beri sedikit sumbangan ke gereja untuk pemeliharaan bangunan ini.”

Begitu dipersilahkan, Labilers langsung masuk ke dalam bangunan gereja. Tidak seperti kebanyakan gereja yang dibuat dari semen, gereja ini masih mempertahankan corak aslinya menggunakan kayu jati. Pun langit-langit dan tiang yang didominasi oleh kayu jati. 


Dan yang membuat berkesan adalah corak tenun daerah yang memang tidak dapat dilepaskan sebagai bentuk akulturasi antara agama dan kebudayaan setempat. Corak tenun digambar sepanjang bagian kiri dan kanan gereja. Bentuknya juga menyerupai sebuah istana, sesuai desain bangunan mewah pada masa itu. 



Di bagian luar gereja terdapat lapangan kecil yang menjadi halaman gereja. Sebelah kirinya adalah pesisir Pantai Lela sedang bagian kanannya adalah pekuburan umum yang kental sekali dengan nuansa Katolik. FYI, gereja ini dikelola oleh Keuskupan Maumere yah Wankawanka. Dan, di sini sering diadakan upacara Logo Senhor, yang dilakukan dalam bahasa Portugis, dan masih bertahan sampai sekarang. Biasanya dilaksanakan saat Katolik memasuki Tri Hari Suci sebelum Paskah.


Sesudah melihat-lihat dan mengambil gambar, kami sepakat untuk berpindah tempat ke Sanctuarium Fatima Lela. Kita harus kembali lagi ke Rumah Sakit Lela karena letaknya dekat dengan Sanctuarium Fatima Lela. Ini adalah satu dari tempat ziarah yang juga Petualang Labil ceritakan dalam edisi kali ini.


Sanctuarium ini letaknya mengikuti bentuk bukit, jadi posisinya memang sangat landai. Undakan pertama kita bisa langsung melihat altar, dan juga seorang bapak yang sedang menyiram tanaman.

“Misi om.”


Ellyn bercerita kalau para Orang Muda Katolik di Keuskupan Maumere sering berkumpul di tempat ini untuk melakukan kegiatan berdoa bersama. Benar saja, selain altar masih terdapat banyak sekali ornamen-ornamen khas Katolik di tiap sudut Sanctuarium Fatima Lela ini.

“Kemarin pekan OMK di sini orang tumpah-ruah kaka, terlalu banyak.”

Kita berniat untuk berjalan hingga ke puncak Sanctuarium agar bisa melihat Lela dari perpektif yang lebih luas lagi, melihat Lela secara tajam, setajam tatapan matamu yang selalu saja menembus masuk ke dalam hatiku.

“Mari sini kaka, biar saya kasih tau jalannya.”

Ellyn memimpin pendakian kecil ini. Semenjak dari awal jalan dia tidak banyak bicara. Mungkin dia takut lipstiknya luntur. Mungkin, kan mungkin. Tapi yang Petualang Labil akui bahwa, cewek ini tidak merasa lelah saat Labilers mendaki melewati tiap anak tangga.


“Eih, begini saja capek ini. Merindu tuh lebih capek ka nong daripada jalan ini sedikit ke atas.”

Mamkita unggul banyak suh. Kita ngos-ngosan dianya senang.

Landscape yang terpampang dari atas sini langsung memanjakan mata Petualang Labil. Buat apa beristirahat kalau kesempatan ini sampai dilewatkan?



Dan, begitulah pada akhirnya Petualang Labil harus menutup seri Wisata Rohani di Lela. Sudut selatan Kabupaten Sikka ini memang punya daya tarik yang besar. Bukan cuman wisatanya, tapi juga du’a nya lohh.

“Ciahhhhh, suster yah?”

Susternya kita kembalikan lagi ke Rumah Sakit Lela. Selamat melayani dan tetap semangat yah suster. Kitanya mau melanjutkan perjalanan ke Seminari Ritapiret dulu, kebetulan sejalur dengan arah pulang jadi susternya tidak bisa diajak. Apa yang akan Labilers tuju di sana? Kalau kalian penasaran, jangan lupa untuk pantengin blog ini bulan depan, special Nostalgia via Video Call Whatsapp. Sampai jumpa, jaga selalu keindahan bumi kita, salam lestari, salam Petualang Labil!