Laman

Wednesday, June 23, 2021

Fatumnasi Adalah Surga

    Fatumnasi adalah surga, valid, no debat! Mungkin tidak akan kalian percaya jargon ini, tapi cobalah untuk menginjakkan kaki di tempat yang menurut Petualang Labil ini tempat terindah di Pulau Timor. Udara yang sejuk, dengan awan yang sedikit bermain di kaki kalian, dan semilir angin yang meniupkan sejuknya cinta yang diberikan alam akan benar-benar memvalidasi pernyataan di atas.

    Jadi, waktu itu Petualang Labil bersama dengan Ipit, Engki, Eda, dan Vester sudah saling menjanjikan untuk pergi bersama ke Fatumnasi. Perjalanan memang jauh, karena Kota Kupang dan Fatumansi berjarak sekitar 4 jam perjalanan. Kami berada di Kota Kupang, dan Fatumnasi yah di Fatumnasi, dong.


    Sekitar pukul 09.00 saat Engki, Eda, dan Ipit sudah berkumpul dan kami segera meninggalkan Kota Kupang. Vester? Aih, orang itu ditelpon tidak diangkat. Tertidur mungkin, apalagi malam sebelumnya dia mengikuti sebuah acara bersama dengan teman-temannya. Kami pun, supaya dapat menikmati alam Fatumnasi dengan waktu yang lebih banyak, segera berangkat saja.

    Kami berangkat hingga Tarus ketika handphone milik Ipit berdering. Ipit bersama Engki berhenti dan memberitahukan Vester menelpon. Orang ini, Vester, Vester. Petualang Labil melihat ke handphone juga, beberapa kali Vester menelpon tapi karena sedang mengendarai motor jadi Petualang Labil tidak mendengar.

    “Ini kalau tunggu dia nanti kita banyak kehilangan waktu,” kami memulai mengisi pikiran satu sama lain. Akhirnya bersepakat, Vester bisa menyusul menggunakan motor milik Ipit. Minta saja kunci motor pada Puput. Puput adalah kakak kandung Ipit, walaupun tak tampak demikian.

    “Okey!” Vester menyetujui saat kami menelponnya. Kami melanjutkan kembali perjalanan kami dan singgah sebentar ke Biara Claret di Benlutu untuk menemui Frater Harry. Frater Harry mengajak untuk makan malam apabila pulang ke Kupang, dan kami mengiyakan. Kami juga singgah ke warung makan untuk mengisi perut makan siang. Jelas mengisi perut, kalau mengisi dompet tentu dompet pemiliki warung.

    “Vester sudah dekat So’e. Kayanya sedikit lagi sampai,” kata Ipit. Kami terkejut. Bagaimana mungkin dia bisa dengan begitu cepat berkendara? Orang itu mungkin sementara magang jadi pembalut. Eh sorry, pembalap.

    Setengah jam kami makan dan akhirnya Vester muncul. Akhirnya kami mengetahui rahasianya dia memiliki jarak waktu yang dekat dengan kami. Selain karena kami singgah ke Benlutu, beliau tidak mandi saudara/saudari! Matanya masih bengkak ketika masuk ke warung! Rambut sedikit rapi, terima kasih kepada helm yang sudah sedikit merapikan rambutnya.

    “Aish, mandi kok tiap hari? Kampungan.”

    Setelah menunggu Vester makan dan kami mengecek barang-barang, membayar makanan, kami bertolak lagi menuju ke Fatumnasi. Sekitar kurang dari satu jam kami menuju kesana. Tentu kami melewati tempat-tempat yang begitu manis dipandang mata. Cuaca cerah membuka tirai Fatumnasi. Perbukitan dan langit yang biru menari-nari di hadapan kami. Udara dingin sudah memeluk kami secara perlahan semenjak dari So’e. Jika kalian ingin tahu tempat apa saja yang Labilers jajaki, berikut Petualang Labil sajikan satu-persatu.

1.  Hutan Cemara
    Akhirnya kami sampai ke Fatumnasi. Infrastruktur jalannya sudah menjadi sangat bagus. Mulus dan rapi, semoga seperti jalan pelaminanku kelak. Curhat boleh dikit kan, udah nggak jomblo lagi choy! Hahaha!
    
    “Labil, stop menghayal, berhenti dulu di sini, kita foto-foto!”

    Baiklah, first stop kita ke hutan cemara. Mostly, Fatumnasi adalah surganya pohon cemara, jadi semenjak dari awal kita sudah disambut tanaman berdaun jarum ini. Kami memarkirkan kendaraan kami, dan mencari spot keinginan kami. Kami beristirahat sambil narsis.




2.    Baiklah, tempat apa ini?
    Sejujurnya, Petualang Labil tidak mengetahui nama tempat ini. Jaraknya dekat dari perhentian pertama kami, cuman sedikit menanjak. Ah, iya! Orang-orang sering mengatakan “Letter S Fatumnasi!” Tapi karena fotonya tidak ada jadi Petualang Labil tampilkan saja foto Eda dan Ipit.



3.     Danau Fatumnasi
        Yap! Ini adalah tempat ketiga yang kami kunjungi. Luas danau ini agak besar, dan backgroundnya adalah matahari yang mulai mulai jatuh ke barat. Beberapa ekor kuda sepertinya sedang beristirahat di bawah pohon, memakan rumput, mereka bergerombol. Di sini tidak seramai di Letter S Fatumnasi. Kami leluasa mengambil foto dan video, dan menikmati danau ini secara privat.




    4. Tebing Batu Fatumnasi
        Baiklah, kami kebingunan mencari tempat yang satu ini karena belum ada satupun dari Labilers yang pernah ke sana. Selidik punya selidik, ada mobil keluar dari jalan yang berlawanan dengan arah masuk ke Danau Fatumnasi.

    “Kata temanku, dekat dengan danau, tapi coba ke arah mobil tadi,” usul Ipit.

    Kami pun setuju. Sebelum melaju, ada juga sebuah motor ke arah yang sama. Sedikit lega dengan keputusan kami, kami melanjutkan perjalanan. Kami harus melewati sungai kecil yang berlumpur, tanjakan yang penuh batu juga merepotkan. Eda dan Ipit harus sedikit berjalan kaki karena memang medannya tidak mudah untuk motor yang kami kendarai. Jika saja KL*X mengendorse kami saat itu. Sekarang juga boleh sih.

    Kami tiba! Kami memarkikan motor dan berjalan kaki menuju lokasi tebing batu. Ketika sampai, anginnya bertiup keras, udara menjadi lebih dingin ketimbang di danau. Letaknya memang di ujung, dan hamparan pemandangan yang disajikan adalah bukit hijau, seperti karpet hijau yang berombak.




    Kalian pernah membaca kisah tentang Mama Aleta Baun? Jika sudah, ini adalah tempat yang dipertahankan olehnya bersama dengan mama-mama kampung lainnya dengan cara menenun di tengah jalan ketika bukit batu ini dibelah untuk diambil marmernya oleh penambang. Secara Pribadi, Petualang Labil juga tidak setuju dengan tambang. Pernahkah kalian mendengar happy ending story kepada masyarakat yang terdampak tambang? Menghindari kerugian akibat tambang,  makanya Mama Aleta bersama mama-mama lainnya bertindak, tentu dengan dukungan orang-orang lainnya. Kerusakan lingkungan akibat tambang merugikan kehidupan mereka.


5.    Kebun Keladi
    Beberapa menyebutkan Hutan Keladi, tapi Petualang Labil lebih setuju dengan sebutan Kebun Keladi. Yap, Kebun Keladi menjadi tempat terakhir yang kami kunjungi saat itu. Ipit mendorong kami untuk secepatnya pergi ke Kebun Keladi. Kami harus kembali lagi menempuh jalan yang kami tempuh sewaktu datang. Mentari juga perlahan turun dan Ipit seperti ngebet pengen makan. Kami sedikit lebih cepat ketimbang santai. Kebun Keladi tepat bersebelahan dengan Letter S Fatumnasi. Kami memarkirkan motor dan masuk ke kebun. Rp. 10.000 /orang yahh, Labilholic yang baik hati.


       Nah, dengan selesainya kami berfoto di Kebun Keladi, kami akhirnya harus kembali pulang ke Kota Kupang. Matahari sudah benar-benar meredup saat kami pulang. Kami menempuh malam untuk pulang. Udara dingin membuat Vester gelisah, apalagi ketika kami singgah, ingin mengambil gambar kota So’e dari Kilometer 12, tapi tidak bisa karena kabut tebal menghalangi kamera. Angin terlalu kencang juga menggoyang tripod yang kami gunakan. Vester makin gelisah karena dingin.

    Ja’o tira kuat ko, pulang saja,”

    Hehehe iya, Labilers pun kembali pulang. Tidak lupa kami singgah ke Benlutu lagi, Biara Claret, untuk ‘numpang makan’ karena sudah diajak Frater Harry. FYI guys, Frater Harry ini adik kandungku. Cakep kan? Kakaknya Petualang Labil adiknya biarawan.

    “Ambil saja, pulang ke Kupang ini jauh jadi makan yang banyak. Kami dengan Frater Harry dan adik-adik sudah makan jadi ini silahkan dihabiskan,” pinta Pater pimpinan yang saat itu juga ada di sana. Lupa pula aku namanya, jadi sebut saja Pater Pimpinan. Sebenarnya, Pater, melalui tulisan ini saya ingin berkata jujur, tidak dibilang pun pasti bakal kami (saya) habiskan.

    Suasana makan yang menyenangkan. Kebetulan Pater juga orang Manggarai, jadi Petualang Labil banyak bercerita dengan Pater, apalagi kampungnya sama dengan kampung ibu. Bahan cerita pun banyak mengalir, dan Eda yang juga anak Manggarai banyak bercerita. Oh iya, fun fact guys, guru matematika Pater saat masih SD adalah Kakekku di kampung, heheh.

    Nah, sekian joak-joaknya, kami pamitan dan berterima kasih atas makan malamnya kepada yang empunya rumah. Kami juga tiba dengan selamat ke Kota Kupang. Tidak apa-apa pantat keram, tapi kenangan perjalanan kami adalah senja yang hangat dan temaram. Petualang Labil di Bali, Eda kembali ke Manggarai,Vester merantau ke Papua, Ipit dan Engki masih di Kupang, sepertinya perjalanan yang sama tidak akan kembali terulang. Terima kasih untuk perjalanan dan kenangannya teman-teman, I Green You.

Thursday, February 11, 2021

Bukit Fatima

Hay! Para pembaca Blog Petualang Labil, di mana pun kalian berada, di hadapan layar smartphone, laptop, computer, dan kalian yang sedang duduk, berdiri, jongkok di closet, apa kabar semuanya? Masih dalam dekapan pagebluk Covid? Yap! Pagebluk ini sangat mengikat kita untuk tidak bisa melakukan apa-apa, tapi kalian tetap dapat membaca blog ini, jadi Petualang Labil mengucapkan terima kasih karena kalian masih setia membaca blog ini.


Nah, perjalanan kali ini Petualang Labil akan membawa kalian ke Bukit Fatima. Tempat ini terletak di Kabupaten Flores Timur. Perjalanan yang cukup jauh harus ditempuh oleh Petualang Labil dan teman-teman Labilers dari Kabupaten Sikka menggunakan sepeda motor. Kami menempuh jarak 153 kilometer, kalau tidak salah, dimulai dari pukul 15.30 wita dan akhirnya tiba di Larantuka sekitar pukul 19.30 wita.

Sebenarnya, kedatangan kami ke Larantuka ini merupakan pemenuhan atas undangan dari Kakak Adhy, Kakak Uchy, dan anak mereka Putra yang menerima Sakramen Ekaristi. Petualang Labil tidak akan menjelaskan tentang Sakramen Ekaristi, tapi yang pasti, kebanyakan orang-orang akan mengadakan acara atas penerimaan, maka itulah, kami berada di sini.

Epang, seorang sahabat, juga merupakan adik dari Kakak Uchy, sudah menunggu kami semenjak sore. Malam itu banyak orang yang datang menghadiri pesta. Petualang Labil yang kelaparan karena dilepasliarkan oleh ibu kos langsung melahap makanan yang sudah tersedia. MAKANAN PESTA! Varian sayur dan daging dalam satu piring, menggoda sekali rasanya!

“No, minum arak?”

Tawaran datang berupa minuman khas daerah Larantuka. Namanya memang Arak, seperti minuman Jepang, hanya saja bahannya tidak diambil dari Jepang melainkan dari Pohon Aren yang banyak tumbuh di daerah tersebut.

“Aduh, saya tidak minum itu kakak. Biar saya jatuh cinta saja kalau harus mabuk,” tolak Petualang Labil.

“Kamu masuk ko tidur sana sudah!”

Esok pagi, ketika semua sudah bangun dari tidur. Masih Vester yang tidur karena mabuk semalam. Sudah menjadi kabar burung bahwa Arak, Moke, atau minuman tradisional dari Flores itu memang sangat nikmat dan membantu kita untuk mendapatkan tidur yang nyaman, sepanjang minumnya tidak berlebihan.

“Sekarang kira-kira kita ke mana? Di sini tempat jalan-jalan agak jauh, mau cari yang dekat tapi ke mana?” tanya Chent.

“Oh kita ke kapela ini saja, di atas bukit, kemarin sebelum ke Maumere saya dan Kaka Adhy ke sana,” jawab Petualang Labil.

“Nah okey, gas!”

Kami berangkat menuju Bukit Fatima. Tempatnya ditempuh sepuluh menit menggunakan sepeda motor. Kondisi jalanan mulus, suasana pagi Larantuka yang saat itu sejuk seperti menjadi tanda restu atas perjalanan singkat kami menuju ke Bukit Fatima.

Dan, di sinilah kami berada.


Yang menjadi daya tarik dari kapela kecil ini adalah posisinya yang berada di ketinggian, seperti mengepalai teluk, lautan, kapal, rumah-rumah, dan bukit-bukit di seberang laut. View yang tentu saja unik, membuat tempat berdoa bagi umat Katolik di Keuskupan Larantuka ini menarik banyak orang untuk datang, bahkan orang-orang dari luar kota pun menyempatkan diri untuk berkunjung ke sana.



Tipikal bangunannya didominasi oleh kayu, dan model bangunan dibuat terbuka, membuat bangunan kapela ini menjadi berbeda dari kapela dan bangunan pada umumnya. Selain itu, untuk menambah kapasitas penampungan, karena bangunan kapela yang memang didesain tidak terlalu besar, pada bagian depan kapela dibuatkan tempat duduk dari beton yang dilapisi keramik sehingga orang-orang juga bisa duduk pada bagian luar kapela.
 


Agar memperindah kesan bahwa tempat berdoa itu indah, dibuatlah taman di sekitar kapela ini. Tentu saja, hal itu dapat membantu pengunjung yang datang menjadi lebih khusyuk ketika menyapa Sang Khalik.


Petualang Labil dan Labilers tentu saja, tidak hanya sekedar jalan-jalan, tapi juga menyempatkan diri untuk berdoa. Traveling, bukan hanya memuaskan mata, tapi juga tentang mengembalikan kestabilan emosi, dan karena menemukan tempat untuk berdoa, maka kami pun berdoa.


“Cuman mau bilang berdoa aja muternya jauh banget ngab.”

Setelah menyempatkan diri untuk foto bersama, kami bergegas pulang. Sekitar pukul 12.00 siang, kami berpamitan kepada Kakak Adhy dan keluarga. Petualang Labil, Vester dan Nacha akan kembali ke Larantuka apabila ingin bertolak ke Kupang. Oh iya, Epang juga turut serta ke Maumere. Rencana kami adalah singgah dulu di Pantai Pangabatang.

“Makanya kita harus segera pulang, takutnya nanti kalau terlalu sore nanti tidak ada lagi kapal yang mau antar kita ke sana,” saran Chent.


Kalau kalian ingin tahu seperti apa tampilan jalan-jalan kami ke Pangabatang, silahkan ditunggu tulisan edisi berikutnya. Semoga setelah semua orang divaksin dan penyebaran Covid menjadi lebih tertekan, kita semua bisa berkunjung ke mana saja yang kita mau asal punya uang. Terima kasih karena sudah membaca tulisan Petualang Labil edisi Bukit Fatima, semoga kita semua diberikan kekuatan untuk kuat menghadapi pagebluk Covid dan masalah apapun yang kita hadapi. Salam Petualang Labil!