Laman

Thursday, August 18, 2016

BERMODALKAN IMAN


            MERDEKA!! Pekikan kemenangan menggaung lantang di se-antero Nusantara.  Merah darah dan putih tulang, menyatu dalam jahitan bendera berkibar tegak di bawah tudung langit nan biru. Indonesia patut berbangga, masih diberkati Tuhan hingga usianya yang memasuki umur 71 tahun. Tepat 17 agustus 2016, kenangan akan proklamasi kemerdekaan oleh Bangsa Indonesia itu terulang kembali.
Kekayaan alam Indonesia tidak akan pernah diragukan dunia. Langit biru terus mengawasi awan yang berkejaran bersama angin. Yang kelelahan beristirahat di puncak gunung. Sawah menghampar, lautan yang kaya akan ikan dan terumbu cantik. Siapa yang tidak jatuh cinta dengan keindahan Indonesia?
Motivasi traveling lahir dari euphoria peringatan kemenangan Indonesia mengusir penjajah dari Bumi Pertiwi. Kata orang, gak asik kalo tujuh belasan gak naik gunung. Dan yah, itu benar. 17 agustus bagi saya merupakan golden moment dalam dunia traveling Indonesia. Menancapkan bendera di tempat tertinggi. Sedikit terilhami oleh filosofi perjuangan Indonesia, bahwa cuman perjuangan yang bisa membawa bangsa ini pada puncak kemerdekaan. Dan puncak yang ingin saya tuju adalah yang tertinggi di Pulau Timor, ketinggian 2427 mdpl, Puncak Mutis.

Puncak Mutis

Rencana pun mulai saya susun. Yang pertama, mencari informasi sebanyak mungkin tentang Gunung Mutis, perjalanan, penginapan, cuaca dan informasi lain yang diperlukan. Kemudian menghubungi teman-teman seperjalanan. Semuanya setuju. Sayangnya dari sebelas yang setuju, cuman empat yang mantap melangkah ke medan perang. Dan saya perkenalkan teman seperjalanan kali ini. Yang pertama adalah Cible Mesakh, lalu Ricko Djami dan Wiku Setiadi.





16 Agustus, kami berencana berangkat pada pukul 06.00 pagi agar terhindar dari bus lintas timor yang memang belum beroperasi pada jam sepagi itu. Manis bibir berkata tak semanis tangan berbuat, kami baru mulai berangkat pada pukul 09.00. Masalahnya? Sudah jelas, saya bangun terlambat sehingga membuat yang lain sangat tertunda :D
Berangkat dari Kupang menggunakan sepeda motor, perjalanan ditempuh selama tiga jam ke kota Soe, ibukota Kabupaten Timor Tengah Selatan. Di Kabupaten TTS inilah tujuan kami berdiri dengan tenang menunggu kami. Di Soe, kami beristirahat sekitar 90 menit. Sembari makan siang, kami juga membeli sirih pinang dan ubi di pasar. Ubi ini kami gunakan sebagai bekal, dan sirih pinang untuk diberikan kepada Bapak Matheus Anin, juru kunci Mutis.
Berlanjut menuju Fatumnasi, salah satu desa yang berada di kaki Gunung Mutis. Perlu waktu dua jam berkendara untuk sampai ke sana. Tempatnya sangat sejuk, udara bersih, dan pemandangan yang masih sangat alami. Hanya saja, jalanan yang sudah rusak dan sedikit bebatuan. Sangat disayangkan sebab jalanan ini belum diperhatikan pemerintah, padahal cuman ini akses menuju desa Fatumnasi.

Beberapa Pemandangan di Sebelum Memasuki Fatumnasi


Begitu sampai Fatumnasi, kami langsung mencari penginapan Lopo Mutis milik Bpk. Matius Anin. Kami menyapa setiap orang di sana termaksud Mama, istri Bpk. Anin. Sayang sekali Bpk Anin tidak bisa kami temui karena berada di desa sebelah dalam rangka perayaan kemerdekaan. Setelah bertegur sapa, kami langsung menanyakan harga penginapan. Harganya adalah Rp. 100.000,00 per orang dalam satu malam. Artinya, kami mesti membayar Rp. 400.000,- untuk satu malam ini. Kami panik. Sekalipun Fatumnasi bersuhu 15o Celcius, tapi kami berkeringat mendengarkan harga sewa kamar itu. Kami mundur sejenak, mendiskusikan harga sewa tersebut. Uang bawaan tidak cukup. Panik semakin menyerang.
Dengan uang seadaanya yang kami kumpulkan, akhirnya kami mencoba “nego” dengan mama. Tidak ada perdebatan, mama menyetujui harga yang kami minta. Untunglah, kami mendapatkan tempat untuk tidur malam ini. Hasil dari “Bermodalkan Iman.” Sisa uang kami gunakan untuk membayar guide yang akan menemani pendakian kami besok. Penginapan sederhana dengan rumah kecil berbentuk gasing yang terbalik itu terletak di halaman belakang rumah Bpk Anin. Pintunya kecil memaksa mereka yang ingin masuk harus jongkok agar bisa masuk ke dalam.
Cible dan Wiku masuk untuk tidur, sementara saya dan Ricko mengeksplorasi kilat desa ini. Pemandangan alami terhampar dengan bentangan yang luas. Matahari hampir terbenam menambah keindahan Fatumnasi.
Lopo Mutis
Fatumnasi di Sore Hari

           Saat malam tiba, banyak pendaki yang bermunculan ke rumah Bpk. Anin, lalu melanjutkan perjalanan ke Padang di Gunung Mutis. Mereka untuk menginap di sana. Sementara itu kami bercerita bersama mama. Mama menceritakan beberapa kejadian astral yang sering menimpa para pengujung. Kebanyakan dari mereka yang ke sana tersesat. Dipercaya atau tidak, setiap pengunjung yang kesana diwajibkan untuk singgah di rumah Bpk. Anin. Hal ini adalah jaminan agar tidak ditimpa hal-hal yang tidak diinginkan. Salah satu yang diceritakan mama adalah ketika satu rombongan ibu-ibu yang ingin pergi ke Mutis bersama supir mereka, yang kabarnya mengetahui jalan ke Mutis. Tanpa singgah ke rumah Bpk. Anin, mereka terus saja melanjutkan perjalanan ke Mutis. Hasilnya? Mereka tersesat. Bertahan hanya dengan mie instan kering selama tiga hari. Mesin mobil bahkan tidak mau menyala.
Hari ketiga, mesin akhirnya bisa dioperasikan. Mereka kembali pulang. Belum sampai kembali ke Fatumnasi, pada suatu tanjakan, mesin mobil kembali mogok. Akhirnya ibu-ibu tersebut harus turun dari mobil dan mendorong mobil ke atas. Ditengah usaha mereka, beberapa bapak yang tidak dikenal datang membantu. Mereka berhasil mendorong mobil ke atas, dan mesin mobil kembali dinyalakan. Supir tadi turun dari mobil dan berniat memberikan rokok sebagai balas jasa, tapi bapak-bapak menolak. Dengan tersenyum tanpa kata, seorang bapak mengisyarakat kepada rombongan untuk segera pulang. Seorang ibu dari rombongan ingin berterima kasih, tapi sekejap, bapak-bapak tersebut menghilang. Tak ayal, ia kencing di celana karena ketakutan.
Waktu pulang, mereka tidak singgah di rumah Bpk. Anin, hingga mobil mereka mogok lagi. Hal ini membuat supir frustasi. Seorang warga yang melihat langsung menghampiri. Warga itu bertanya mereka dari mana, dan mereka menjawab bahwa mereka dari Mutis. Ketika ditanyakan apakah mereka singgah di rumah Bpk. Anin, mereka menjawab tidak. Warga tersebut menyarakan agar mereka kembali untuk meminta permisi sebab mereka tidak singgah. Akhirnya si supir memakai ojek menemui Bpk. Anin dan menceritakan semua hal yang terjadi dan meminta bantuan Bpk Anin. Setelah itu baru mereka bisa pulang ke Kupang.
Saya semakin yakin akan cerita ini, setelah mendengar langsung dari teman saya, bahwa mereka pergi ke hutan Cagar Alam Mutis. Ketika pulang kembali, masih di hutan Cagar Alam Mutis, ditengah jalan mereka ada batang pohon yang menghadang. Beberapa batu besar juga ada di sana. padahal benda-benda itu tidak mereka temui ketika datang. Mereka harus turun dan membereskan. Waktu saya bertanya apakah mereka singgah di rumah Bpk. Anin, ia menjawab tidak. Bahkan ia tidak tahu.
Setelah bercerita panjang lebar, kami beristirahat. Jam 02.00 kami sudah harus bangun untuk melakukan pendakian. Keesokan harinya, kami bangun, mempersiapkan segala hal, terutama pakian yang tebal. Tepat pukul 03.00 bersama guide, kami memulai perjalanan menuju padang pertama, tempat kami harus memakirkan motor. Perjalanan ke sana ditempuh selama satu jam, sehingga pukul 04.00 kami sudah tiba.
Pendaki lain masih tidur. Pemandangan dari padang pertama sungguh menakjubkan. Bulan terasa begitu dekat. Malam diterangi cahaya bulan yang merestui pendakian. Artinya, cuaca cerah. Di sisi lain, terlihat kota. Itu adalah Eban, terletak juga di bawah kaki Gunung Mutis. Sayang sekali saya tidak mengambil gambar, karena yang saya gunakan cuman kamera hp biasa :D
Kami mulai berjalan menuju padang kedua. Jalan tanjakan, gelap hampir memotong asa hingga putus. Cukup tinggi, dan menipu karena gelap tidak bisa dilihat. Ternyata padang kedua cukup tinggi. Nafas memburu. Akibat kurang persiapan fisik sebelum mendaki, rasanya seperti di siksa. Dari belakang, pancaran cahaya matahari merayap naik ke langit. Ini sudah pukul 05.00 wita.
Kami lalu bergegas. Dari padang kedua Puncak Mutis sudah terlihat. Perjalanan masih jauh ternyata. Kami menembusi setiap dedaunan, menanjaki akar pepohonan. Nafas hampir putus. Kami berencana mengejar sunrise di puncak, tapi waktu kami sudah tidak sempat. Cahaya mentari sudah merambat sebagian besar langit. Bola matahari tampak keluar perlahan dari balik bukit-bukit di arah timur.

Menjelang Fajar Kemerdekaan
Sungguh indah. Ia seperti tahta. Penguasa itu memberikan cahaya kepada dunia. Ia mengkudeta malam, menyingkirkan bulan dan bintang. Pancaran fajar itu menyulap pepohonan menjadi berwarna emas. Golden Moment kami mengambil beberapa gambar dengan bendera di genggaman, berkibar, diantar oleh sang fajar. Fajar kemerdekaan.

Menjemput Kemerdekaan

            Perjalanan berlanjut. Pukul 07.30 kami tiba di puncak. Saya langsung saja tidur karena capek sudah sangat menikam saraf hingga terasa sakit. Nafas begitu tersengal. Teman-teman lain membuat perapian untuk menghangatkan diri. Inilah puncak Mutis. Di sana tertulis dengan jelas, 2427 mdpl. Setinggi itukah posisi kami saat ini? Inilah puncaknya. Kami langsung menancapkan bendera yang diikat pada sebatang kayu. Mengabadikan moment ini merupakan tradisi wajib dari traveling itu sendiri. Kini, Merah Putih kami sudah antarkan hingga Puncak Mutis. Dari sana, kami berdiri lebih tinggi dari bukit-bukit di sekitar gunung mutis. Anginnya mengepak lebih keras dari angin lainnya. Bendera ini berkibar lebih tinggi.
Puncak Mutis
Kami beristirahat cukup lama, hingga pendaki lain mulai bermunculan mengikuti jejak kami. Ternyata, pada 17 agustus 2016 kami ada pendaki pertama yang mencapai Puncak Mutis. Kami menyantap ubi yang sudah dimasak mama sebelum kami memulai perjalanan dari penginapan bersama dengan pendaki lain. Ternyata ada beberapa yang tersesat karena tidak ditemani guide. Mereka terpisah dari regu mereka. Untungnya mereka tersesat tidak lama dan bertemu regu mereka di puncak. Pukul 10.00 kami memulai perjalanan pulang, menuruni gunung.
Perjalanan pulang ini menjadi lebih sulit. Cible kaki kanan terkilir semenjak mendaki merasa kesulitan ketika menuruni gunung. Wiku merasa hal yang sama pada kaki kirinya. Riko merasa sakit di pangkal paha, tapi ia cepat pulih. Walaupun begitu, kami akhirnya sampai di padang pertama pukul 01.30 dan langsung pulang ke penginapan untuk beristirahat sebelum kembali ke Kupang.
 Sembari turun gunung kami juga memungut sampah plastik bekas makanan dari para pendaki yang tidak tahu diri seenaknya membuang sampah di gunung. Bahkan beberapa dari mereka melihat kami memungut sampah, tapi tetap saja membuang sampah. Saya teringat akan perkataan Presiden Soekarno yang sangat dikenal Indonesia, seperti sebuah ramalan bagi saya, “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah. Tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu.” Tidak menjaga kebersihan seperti ini adalah salah satu contohnya.
Dalam perjalanan turun juga kami melihat asap menggumpal di hutan pada salah satu sisi gunung. Jelas kebakaran hutan. Itu adalah contoh dari mereka yang belum bisa memerdekakakan diri dari ketidaktahuan mereka akan pentingnya menjaga lingkungan dan kebersihannya. Jika gunung dipenuhi sampah, atau botak karena hutannya dibakar, apa yang menarik? Tidak ada. Yang terlahir hanyalah kesialan belaka.

Hutan yang Terbakar dan Sampah di Gunung Mutis

Ingat! Kalian bepergian, jangan mengambil apapun selain foto. Jangan meninggalkan apapun selain jejak. Sampah adalah tanggung jawab kalian. Sampah itu bukan bagian dari alam, melainkan manusia. Sebagaimana tanggung jawab, jagalah tanggung jawabmu, jangan melemparkan kepada pihak yang tidak bertanggung jawab atas tanggung jawab yang kau emban.
Ini perjalanan kami. Inilah Trip Kami. Kenangan yang kami ciptakan, menjadi cerita, menjadi pelajaran. Perjalanan ini melahirkan pelajaran. Berjalan, agar dapat belajar. Sampai juga di cerita berikutnya. Salam Kemerdekaan!
MERDEKA!!