Laman

Sunday, January 12, 2020

Tersesat di Bukit Nilo

Heyy heyyy heyy Happy New Year! Selamat datang 2020! Woow, waktu yang sangat cepat berlalu, dan sekarang kita sudah berada di tahun 2020. Bagaimana kabar Wankawanka di awal tahun ini? Moga-moga masih sehat dan tetap menjadi pembaca setia Petualang Labil agar kejiwaan Wankwawanka semua terganggu.

Kita masih berada di Seri Petualang Labil di Sikka. Well cerita kali ini Petualang Labil akan menceritakan perjalanan bersama Puput dan Vester di hari pertama Labilers di Sikka. Kemarin Petualang Labil sudah cerita soal Wisata Religi Lela dan Nostalgia via Video Call di Ritapiret. Sekarang tempat terakhir di hari pertama yang Labilers kunjungi adalah Bukit Nilo.


Waktu itu Labilers ke sana dalam keadaan matahari yang tenggelam di ufuk barat dengan mendung yang menelan cahayanya. Perjalanan nekat Labilers ini ditempuh bermodalkan ingatan Puput yang hilang-muncul dan nekat serta penyertaan Tuhan.

“Salah-salah kita hilang di bukit,”

Yapp! Namanya saja Bukit Nilo, sudah pasti letaknya di daerah perbukitan. Jalanan terjal dan menanjak. Langit biru nan gelap. Tidak ada lampu jalanan hanya ilalang yang menjaga di kiri dan kanan jalan dari jurang yang menganga. Lebar jalan tidak seperti jalanan perkotaan, jadi kalau ada kendaraan besar dari arah berlawanan kita kudu mesti must hati-hati be careful. Dan akhirnya, setelah sekitar hampir 3600 detik, kita tiba di kawasan Patung Bunda Maria Segala Bangsa.


Ketika kita masuk ke kawasan Patung Bunda Segala Bangsa ini nampak bagian belakang patung setinggi 28 meter itu menjulang, kita tampak kerdil di bawahnya. Tempat ini memang sangat ikonik karena dari Kota Maumere pun patung yang dibuat oleh Kongregasi Carmel ini  masih dapat dilihat walaupun dalam ukuran yang sangat kecil.  

Sudah sekitar 18.45 waktu Labilers tiba dan masih ada beberapa orang yang berdoa, sedang anak-anak mereka berlari di sekitaran. Ketika mereka beranjak pulang, tinggalah tiga orang anak manusia penakut yang bergidik mendengar suara jangkrik.

Krikk.. Krikk..

“Woyy apa tuh?”

“Ihh, lu dengar juga?”

“Bunyi jangkrik wooyy, biasa!”

Psst.. Pssst..

“Nah itu apa yang pessett peseet barusan?”

“Berdoa saja dulu, mumpung ada di sini. Setelah itu kita foto di depan patung,”
“Okey, habis itu beta mau foto Maumere dari sini, tadi b jalan di dekat pagar Maumere ada menyala bagus dengan lampu malam,”

Labilers berdoa bersama. Setelah berdoa, cekrekk..




Okey, selanjutnya foto kota Maumere.


“Sekarang foto biasa sahh dulu, beta duluan,”


“Wih, bagus nih.. Ayo foto bersama,”


“Woyyy, badanmu kemana Vester?”


“Nah, mending begini saja dulu.”

Okey sekarang kita bersiap pulang. Labilers kembali berjalan ke arah parkiran untuk menaiki motor. Kami berpaling dan meninggalkan lokasi Patung Bunda Segala Bangsa.

“Put, jalan keluar yang pertigaan tadi sebelah mana?”

“Nanti ke depan lagi, beta tanda dari ini patung-patung kecil di pinggir jalan”

Labilers terus bermotor, makin lama jalanan makin menanjak. Kini kami melewati beberapa rumah, warga-warga yang duduk di pinggir jalan kami teguri menggunakan bel motor.

“Tadi lewat sini? Patung kecil kayanya sudah tidak ada. Kek makin dingin juga nih suhu,”

Jalanan masih menanjak, kadang kami jumpai jalanan yang hanya menggunakan semen, kadang aspal, anjing liar juga berkeliaran di beberapa titik hutan di bukit. Vester yang terus membuntuti kami juga cemas.

“Ini anak dua di depan mau pergi ke dunia lain atau bagaimana?”

Kerlap-kerlip kota Maumere memanggil kami dari kejauhan. Ya, sangat jauh, Labilers berusaha mendekat tapi sepertinya makin jauh. Labilers yang terus mengikuti jalan menanjak itu. Pada ujung jalan kami masuk ke pekarangan rumah warga.

“Loh? Orang punya rumah nih, putar balik, putar balik!”

Sialan! Kita kesasar chuy! Ya ampun, Vester tertawa puas, kami kikik-kakak di tengah malam.

“Waduh ini salah jalan daritadi ini namanya,”

“Ko beta ju dari tadi pikir besong di depan nih ingat jalan keluar tadi yang pertigaan arah patung tadi. Ketong su lewat jauh awhh.”

“Hahaha b kira Gohan ju hafal itu jalan masuk,”

“B juga lupa ko gelap nah,”

“Nah sudah besong ikut beta suhh. Kalo salah-salah, kit pung trip sampe ini malam saja, hahaha,”

Labilers cepat-cepat kembali menyusuri jalanan, kembali, Labilers dipimpin Vester. Lagi-lagi melewati gelap hutan bermodal lampu motor. Waktu Petualang Labil melihat speedometer motor, bensin hampir ambyar. Kira-kira bisa atau tidak?

“Wuih ini di belakang gelap sekali!”

“Ayo sambil bercerita Put, awas lu tiba-tiba hilang di belakang,”

“Woyy Kisanak, bagaimana Kisanak ini? Malah menakut-nakuti,”

Saat di perjalanan sebelum pertigaan ke kawasan Patung Bunda Maria Segala Bangsa, Petualang Labil menghentikan motor dengan segara.

PIPP! PIPP!

“Vester! Vester!”

Vester melihat ke arah kami dan memutar balik motornya.

“Ada apa? Apakah Kisanak melihat sesuatu,”

“Ya, lihat di sana!”

Itu adalah Maumere! Ibu kota itu menyala seperti kumpulan kunang-kunang! Sama indahnya seperti yang terlihat dari Patung Bunda Segala Bangsa, hanya saja ini adalah sudut pandang dari Labilers yang kesasar di tengah bukit yang gelap ini. Buru-buru Petualang Labil mengambil gambar.


“Aduh ini rumput terlalu tinggi,”

“Tidak masalah. Sekarang ayo kembali pulang,”

Labilers kembali memacu motor untuk menelusuri jalan pulang. Tidak lama dari spot foto terakhir, pertigaan yang dari tadi kami cari akhirnya kami lewati juga.

“Padahal itu adalah penunjuk jalan, lu sonde lihat ko Gohan?”

“Jangan marah, pasti tadi kenangan yang membutakan beta,”

Labilers terus menuruni jalanan, hingga akhirnya kami mendapati perkebunan jambu mente. Banyak kendaraan mondar-mondir.

“Jalan raya!”

Petualang Labil menghembuskan nafas lega sekeras-kerasnya! Terima kasih Ya Tuhan, barusan bukan nafas terakhirku! Labilers terbahak-bahak di sepanjang jalan hingga kembali pulang ke kontrakan ibu kos. Ibu kos juga baru saja pulang dari kantor.

“Besong kesasar!? Hahahah!”

Suara tertawa Tinny yang besar, serak-serak, dan macet-macet itu memang membuat sebal. Setidaknya ini bukan Dunia Lain. Sorry yah kalau cerita kali ini kepanjangan. Semoga kalian terhibur Wankawanka. Seri berikutnya masih akan tentang perjalanan Petualang Labil di Flores, tapi kita sedikit kembali ke Timor dulu biar ada selingannya. Terima kasih yang sudah membaca, semoga terhibur. Tidak, tidak, kalian tidak akan mendapatkan inspirasi apa-apa. Kalian tidak gila saja sudah bersyukur.

Akhir kata Petualang Labil tetap mengajak Wankawanka untuk menjaga lingkungan kita. Ini sudah tahun 2020, usia bumi makin tua dan semakin sulit dengan masalah ekologi yang kompleks. Semoga kita bisa meminimalisir kerusakannya, setidaknya tidak membuang sampah sembarangan biar tidak ada wisata Brown River seperti di Jakarta. Bila perlu, jangan menggunakan produk plastic sekali pakai. Jangan vandal juga biar lingkungan tetap asri. Sekali lagi terima kasih, salam lestari, salam Petualang Labil!