Laman

Monday, May 7, 2018

Gurita Yang Tidak Bisa Dimakan


Lagi lapar, memang kebetulan barusan gajian nih. Wah, saatnya mencari makan yang enak, bergizi, dan kemungkinan kenyangnya bisa buat kita tidak makan selama sebulan. Hmm, labilholic punya ide, kira-kira makan apa yang semua kategori di atas bisa masuk? Makanan berukuran besar? Boleh juga! Yang besar, enak dan bergizi? Seafood, lezat! Bisa jadi ide bagus tuh.


Wah, emang kalau Petualang Labil kalau lagi lapar jadinya suka lupa, lupa menyapa kalian semua. Hay, labilholic, gimana kabar kalian? Gimana makan siang kalian, tidak makan teman kan? Makan uang negara? Janganlah, dua-duanya bukan hal baik untuk dilakukan. Kalau ada yang melakukan, sama sekali bukan rekomendasi Petualang Labil guys.
Nih, kembali soal lapar, kita perlu makan. Makan  apa saja enak. Tapi, kayanya ada satu makanan yang tidak bisa dimakan yaitu Gurita.
“Bukannya kawan kalau lapar semua bisa dimakan, kecuali racun?”
Ini gurita bukan sembarang gurita chuy. Ini adalah Teluk Gurita. Mana ada orang bisa makan teluk? Telur iya, tapi digoreng dulu atau dibuat dadar, paten chuy.


Soal Teluk Gurita, ini menjadi tempat terakhir dari rangkaian Petulang Labil jalan-jalan ke Kabupaten Belu setelah ke Fulan Fehan, Benteng Tujuh Lapis dan Air Terjun Mauhalek. Kalau labilholic punya rekomendasi tempat lain di Atambua, komen di fanpage facebook Petualang Labil yah.
Minggu, setelah mengikuti perayaan misa pertama di Katedral Atambua, bersama sohib kece @rudiadu labilers langsung nge-motor menuju Teluk Gurita. Hampir saja kita terus ke Pos Batas Mota’ain, tapi insting bolang kita kuat jadinya tidak kesasar sampai Mota’ain. Rahasianya? Tinggal baca papan petunjuk lalu lintas saja, mudah kan?
Teluk ini tepatnya terletak di Kecamatan Kakuluk Mesak. Kira-kira sekitar 45 menit kami berkendara, dengan jalan yang memutar-memutar bagai hubungan yang digantung dan menuruni bukit yang tampak kering, karena memang saat itu lagi musim kering, jadi rumput-rumput yang tumbuh pada kulit perbukitan itu menguning, dahaganya luar biasa. Rasanya seperti hati yang tidak pernah disirami oleh kasih sayang. Seperti jomblo yang benar-benar butuh bantuan medis biar tidak mati konyol.

Jalanan menuju teluk masih sangat mulus. Hanya saja ada satu titik yang rusak, yaitu jembatan kecil yang sudah roboh. Masih bisa dilalui, hanya saja mesti hati-hati. Kalau kalian sok melaju dengan kecepatan Komeng, bahaya guys. Di sepanjang jalan pun ada beberapa kolam buatan menyambut kalian. Memasuki daerah pantai jalan raya terbentang berdampingan dengan Pantai Berlui. Angin laut memang terasa hangat bercampur dengan bau garam. Terpaanya yang sepoi bikin labilers ngantuk.



Labilers mencoba untuk menaiki bukit. Dari atas kelihatan laut yang terbentang begitu luas. Cuaca cukup panas, jadi labilers menikmati pemandangan keren itu sambil berteduh di bawah pohon. Lautnya kelihatan tenang, hempasan ombak-ombak kecil mengalir bersama angin yang bertiup pelan menghardik panas membawa kesejukan. Warna kontras rumput yang tua menguning dengan birunya laut seperti menyihir.


Labilholic harus tahu bahwa Kaka Slank pada tahun 2017 juga mengunjungi tempat ini. Dia dimintai oleh Pemerintah Kabupaten Belu untuk membantu mempromosikan tempat-tempat pariwisata yang ada di Kabupaten Belu. Satu dari beberapa hal yang dilakukan  Kaka Slank snorkeling di sekitaran Teluk Gurita ini.
“Memangnya aman? Bukannya…”
Sebenarnya bukan rekomendasi kalau menurut Petualang Labil, karena saat ini di Teluk Gurita ini cukup banyak buayanya. Buayanya banyak uang dan sudah berkeluarga tapi tetap saja mencari mangsa. Memang dasar buaya!
Tapi serius, tempat ini banyak buayanya, dalam artian buaya yang sebenarnya. Kalau begitu, ganti nama saja yah, Teluk Buaya?
Terkait nama, ada hal lain juga yang ingin Petualang Labil sampaikan kalau Teluk Gurita ini memiliki nama lain, yaitu Kuit Namon. Dulunya, berdasarkan informasi yang Petualang Labil berhasil rangkum, Kuit Namon digunakan sebagai pintu masuk pedagang dari Asia dan Eropa untuk membawa barang dagangannya, walaupun mereka juga masuk ke Timor untuk mencari cendana juga. Karena topografi pelabuhan yang strategis, yaitu diapiti oleh dua bukit, Kuit Namon akhirnya menjadi pelabuhan tradisional.
Suatu hari, sebuah kapal dari Spanyol datang dan melakukan kegiatan perdagangan di sana. Tak disangka, tentakel gurita tiba-tiba melilit kapal yang sedang berlabuh tersebut. Sial! Killer Bee dalam wujud Hachibi? Ternyata bukan, teman-teman. Hanya saja, kapal tersebut akhirnya tenggelam. Hingga saat ini pun, bangkai kapal masih ada di dasar Kuit Namon namun berwujud fosil, seperti ikan kering di asrama dulu.


Maka, walaupun buaya saat ini menjadi geng mafia yang menguasai Teluk Gurita, tapi nama Teluk Gurita tidak bisa diganti dengan nama lain, karena ada cerita yang menjadi dasar pemberian nama Teluk Gurita itu. Gurita merujuk pada Kuit sebagai bahasa daerah.
Selesai mengambil beberapa gambar, Labilers beranjak pulang. Sudah hampir menjelang tengah hari, perjalanan balik ke Kupang akan memakan waktu. Jadi Labilers segera bergegas meninggalkan Teluk Gurita, kembali ke Atambua, dan kembali ke Kupang.


Sekian dulu cerita soal Kuit Namon a.k.a Teluk Gurita ini. Jangan lupa Labilholic untuk terus melestarikan semua tempat pariwisata yang ada di Nusa Tenggara Timur. Tidak membuang sampah sembarangan dan tidak melakukan tindakan vandal adalah hal paling kecil yang dapat kita lakukan, bukan? Dan juga, mari kita saling mendukung agar tidak ada privatisasi maupun kepentingan individu atas tempat pariwisata di Nusa Tenggara Timur, apalagi sampai merenggut nyawa masyarakat Nusa Tenggara Timur. Salam kemajuan pariwisata Nusa Tenggara Timur, salam Petualang Labil!