Laman

Saturday, November 21, 2020

Buntung

Teater senja di Tanjung Kajuwulu sudah dimatikan ketika waktu menunjukkan pukul 18.38, atau mungkin kurang dari itu. Petualang Labil membereskan kamera dan tripod dan dimasukkan ke dalam tas. Saatnya menuruni puncak bukit Kajuwulu, dimana sebuah salib dengan kulit berupa keramik putih dipancang di sana menghadap ke lautan.

Teman-teman sudah menunggu di tempat parkir, tepat di anak tangga pertama bukit ini. Dan yang mereka lakukan..

“Motor milik Luis tidak bisa dinyalakan,” tandas Puput yang sedang membantu pencahayaan dari hapenya, diarahkan pada Luis dan Vester yang melangak-melongok mencari penyebab motor Jupiter MX itu mandeque.

“Stater kaki?”

“Sama juga, tidak mau,” timpal Nacha.

“Ini gara-gara lu yang lama nah Go, mana gelap pula,” sambung Chent.

“Wah sorry, soalnya moment ke sini susah terulang, jadi ada kesempatan yah sekalian direkam sunset tadi,” balas Petualang Labil.


“Sudah, nasib yang agak buntung kali ini. Coba Luis, motornya di dorong ke arah turunan di sana, posisi gigi set masuk,” hardik Vester sekalian memberikan saran. Untuk hal itu Nacha harus GTO (Gonceng Tiga Orang) bersama Puput dan Chent, sementara Vester bersama Petualang Labil. Ketika Luis set gigi masuk, motor itu nyala. Tanpa menunggu lama, ditarikanya tali gas motor itu sekuat tenaga, dan Luis, menghilang.

“Yah, dia pulang?”

Dari arah berlawan dalam perjalanan pulang, Luis berbalik dalam kecepatan yang tinggi, kemudian menyusul kami dari belakang.

Sejurus kemudian dari arah berlawan dalam perjalanan pulang ia berbalik dalam kecepatan yang tinggi, kemudian menyusul kami dari belakang.

“Luis, ko su dari belakang lai?” Puput terheran karena tidak sempat melihat Luis yang tadi melaju dalam kecepatan tinggi.

“Motor sudah kembali aman. Ayo Vester, naik ke sini lagi, biar Puput kembali supaya tidak GTO,” tandas Luis.

Labilers kembali pulang setelah sore ini berpetualang bersama. Petualang pertama hari ini dimulai dari Hutan Bakau di Magepanda yang dapat kalian baca di sini. Selepas pukul empat setelah menelusuri Hutan Bakau, kami memutuskan untuk menyaksikan Teater Senja di Tanjung Kajuwulu. Letaknya tidak jauh, hanya sejauh pacar lima langkah dari rumah padahal  jomblo. Kami memacu motor keluar dari tempat parkir dan meluncur ke Tanjung Kajuwulu.


Ini adalah kali kedua Petualang Labil berkunjung ke Tanjung Kajuwulu, yang pertama pada tahun 2018, bulan Januari. Kalau kalian belum membaca, ceritanya tinggal klik di sini. Waktu ini Petualang Labil cuman ditemani oleh Chent yang memang sudah setahun menetap di Maumere. Nah, untuk kali ini bersama dengan Labilers yang membuat perjalanan semakin seru.

Sebelum menapaki anak tangga bukit kami harus membayar karcis masuk dulu. Sore itu, karena bertepatan dengan tanggal merah, maka banyak sekali yang datang untuk berkunjung. Ada beberapa perubahan juga terjadi, beberapa diantaranya adalah pegangan di sini kiri anak tangga, dan sebuah bangunan seperti menara coast guard yang masih terlihat sangat baru di sisi kiri.

Perlahan kami menanjaki tiap anak tangga hingga berhenti pada sebuah titik kecil.

“Foto dulu yak,” ajak Nacha mengeluarkan handphone dan berselfie. Puput kemudian duduk beristirahat dan Chent mengempiskan perut disertai nafas yang dibuang keluar secara kasar.

“Isi perut jangan ewh kak."



Kami melanjutkan perjalanan ke atas mencari spot lainnya.

“Waktu itu saya juga foto di sana,” ucap Petualang Labil menunjuk pada satu spot.

“Okey aku difoto dulu di sini,” Puput langsung mengambil posisi dan, cekrekk..


Luis sudah berlalu terlebih dahulu setelah kami mengambil beberapa gambar. Kami berjalan pelan dari belakang, menuju ke puncak bukit. Beberapa pengunjung juga mengikuti dari belakang.

“Okey di sini saja, pas dengan matahari yang posisinya lurus,” cetus Petualang Labil sembari mengeluarkan tripod dari dalam tas. Kebetulan kami membawa dua buah kamera, jadi satu kamera digunakan untuk berfoto, satunya digunakan digunakan untuk merekam Teater Senja dari atas Tanjung Kajuwulu. 


Suasana yang menyenangkan dinikmati. Dari pagi, walaupun telat bangun, bermalas-malas ketika disuruh untuk bersiap, dan baru berangkat jam dua siang, tapi Labilers tetap menikmati sunset ini dalam sukacita. Kami tidak memikirkan tentang motor milik Luis yang sedang disabotase oleh waktu sehingga kami harus lebih bersabar ketika harus meninggalkan tempat ini, karena keindahan ini lebih pantas untuk dinikmati dalam sukacita.

Langit yang tadinya orange, menjadi ungu, dan gelap, mengantarkan petualangan hari itu selesai. Kami kembali ke rumah ibu kos dengan selamat. Kalau kalian bertanya siapakah ibu kos yang dimaksud, kalian harus membaca semua rangkaian perjalanan Petualang Labil bersama teman-teman di Sikka mulai sejak kedatangan, dan tentu saja untuk selalu membaca blog ini, karena Petualang Labil masih akan menceritakan perjalanan yang seru ke Kapela San Dominggo yang letaknya di Flores Timur, namun sebelumnya singgah sebentar untuk makan di acara sambut baru.


Terima kasih sudah membaca, salam lestari, salam Petulang Labil.

Tuesday, September 29, 2020

City of Mangrove

Kembali lagi ke sini, di Blog Petualang Labil! Gimana kabar kalian semua di tengah pagebluk Covid-19 ini? Petualang Labil berharap kita semua sehat dan bahagia, tidak jatuh sakit baik kita maupun keluarga kita semuanya.

Masih menghibur Labilholic sekalian, Petualang Labil akan melanjutkan cerita Petualang Labil saat bersama teman-teman mengarungi tempat-tempat menakjubkan di Kabupaten Sikka. Kemarin memang Petualang Labil menyisipkan cerita ke Rumah Pengasingan Soekarno di Kabupaten Ende, sekarang Petualang Labil akan membawa kalian semua menuju ke Hutan Bakau di Kabupaten Sikka.


Hari sudah hampir sore dan, belum ada satupun dari antara Labilers yang bergerak mempersiapkan diri untuk trip kali ini. Semuanya masih malas-malasan karena panasnya Kota Maumere.

“Sebentar, dikit lagi, masih terlalu vulgar (panas),” Vester masih baring-baring dari tadi. Petualang Labil malah sudah selesai mandi dari kosan Luis dan mereka belum selesai siap untuk berangkat, kecuali Nacha yang lagi ngelap mukanya memakai beberapa macam perawatan yang membingungkan.

“Biar ewh, daripada burik!?”

Tuh muka kalau tidak dipakai lagi ingin aku rombak kek Sanji bongkar muka milik Duval. 

Semuanya akhirnya selesai bersiap sekitar pukul 14.00 wita. Matahari yang memang panas perlahan turun panasnya setelah minum paracetamol, bersamaan dengan warnyanya yang pudar menjadi jingga. Tapi tetap saja panas cuaca di sana bikin berkeringat kendati sudah mandi.




Rombongan akhirnya berangkat sekitar pukul 14.30 wita. Tempat pertama yang dituju adalah Hutan Bakau yang terletak di Desa Reroja di Kecamatan Magepanda, sekitar 30 km dari kota Maumere. Bakau yang menghutan ini ditanam oleh seorang bapak yang sudah meninggal, dikenal dengan nama Baba Kong. Beliau menanam banyak bakau sebagai respon dari bencana tsunami yang menghantam Maumere pada Desember 1992.


Pesona hutan bakau ini berdiri pada lahan seluas 70 ha. Agar wisatawan bisa berkeliling di hutan bakau ini, disediakan jembatan kayu yang menjadi sarana agar pengunjung bisa berjalan, sebab kalau tidak, hanya ada lumpur dan rawa dosa, yang akan menelan kalian dan hanya tinggal penyesalan.

“Iya bang, nanti kita tidak bisa jalan-jalan di dalam hutan bakau kalau jembatan kayu tidak ada ewh.”

Selain jembatan kayu disediakan juga dua pondok kecil di area hutan bakau yang dapat digunakan untuk beristirahat. Pada ujung jembatan kayu juga ada sebuah tower yang dibangun menggunakan bambu agar pengunjung dapat menikmati pemandangan hutan bakau dari tempat yang tinggi.

“Yang penting naik hati-hati dengan pengendalian chakra yang sempurna.”



Pada bagian luar area hutan, Labilers mendapati pantai dengan garis pantai yang panjang. Hutan bakau yang baru saja Labilers lalui dan menikmati oksigen menyegarkan daripadanya, tampak seperti diapiti oleh bukit dan pantai. Tentu saja Chent langsung meminta untuk dipotret, pun Puput yang sebelumnya beristirahat di bangku pinggir pantai meminta untuk dipotret setelah Chent menyelesaikan sesinya.



Kira-kira sampai sini ada pertanyaan?

“Ya pak! Semalam saya mendapatkan uang Rp. 5000 dari ayah saya dan tidak saya bagikan kepada adik saya. Pertanyaannya, kenapa ibu mau menikahi ayah saya?”

Oh, mungkin jawabannya adalah dia mau melihat lagi foto pantai itu. Ini, aku kasihkan lagi.



Nah, laki-laki berkacamata ini kalau kalian suka silahkan dibawa pulang. 

Demikian dari Petualang Labil untuk cerita City of Mangrove ini. Baba Kong adalah individu yang hebat, melahirkan Hutan Bakau ini sebagai kepeduliannya terhadap lingkungan. Dicibir dan dihina karena tidak memilih menanam kelapa dan tanaman perkebunan lainnya, akhirnya usaha Baba Kong ini bermanfaat bahkan untuk para pencibirnya juga. Tujuan sederhana agar kalau terjadi tsunami, air dapat tertahan di Hutan Bakau, sekarang dinikmati bahkan oleh orang-orang dari luar negeri sebagai titik wisata yang patut dikunjungi.

Setelah melihat apa yang dilakukan Baba Kong, Petualang Labil meyakini, Baba Kong adalah Hashirama Senju, pengguna Mokuton dengan jutsu yang dapat melahirkan hutan. Walaupun diberi penghargaan oleh Pemerintah Indonesia, dia tetap rendah hati dan mengatakan bahwa hal tersebut dilakukan untuk sesamanya. Benar-benar sikap seorang hokage sejati!

Terima kasih Baba Kong untuk inspirasi dari kepedulian anda! Cerita selanjutnya adalah, Kembali ke Tanjung Kajuwulu!



Monday, August 17, 2020

Jas Merah

“Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah!”

Ungkapan yang sudah tidak asing lagi di telinga masyakarat Indonesia. Ungkapan yang diberikan oleh Presiden Republik Indonesia yang pertama, Ir. Soekarno, pada pidato kenegaraannya yang terakhir sebagai seorang presiden pada tahun 1966, menandakan bahwa sejarah adalah lembaran yang tidak boleh dilupakan, tentang tulang yang patah dan darah yang tumpah, untuk Merah Putih agar berkibar dan terus berkibar di bumi Nusantara, Indonesia!

Wankawanka, edisi bulan Agustus ini Petualang Labil akan membawa kalian menuju ke satu tempat di Kabupaten Ende, tempat dimana Pancasila dikonsepkan pertama kalinya oleh Proklamator kita Ir. Soekarno. 


Jadi nih guys, Kabupaten Ende terletak di Pulau Flores. Kita bisa menempuh menggunakan pesawat dari Kota Kupang, dan dibawa terbang burung besi sekitar 45 menit. Pendaratan pesawat dilakukan di Bandara H. Hasan Aroeboesman. Letaknya cukup dengan hotspot perjalanan kita kali ini. Tapi nih Wankawanka, Petualang Labil saat itu ke sana cukup berjalan kaki sebab penginapan Petualang Labil dengan dengan Rumah Pengasingan Bung Karno.

Untuk rumah pembuangan Bung Karno, cukup mudah dijumpai karena letaknya berada di tengah kota, beralamat di Jalan Perwira Kelurahan Kota Raja. Bangunannya yang masih dipertahankan keasliannya dengan kondisi saat Bung Karno dibuang pada 14 Januari 1934 hingga 18 Oktober 1938 tersebut memudahkan kita untuk menemukannya.


Oleh karena telah dilindungi oleh undang-undang, pengelolaan situs ini dimaksimalkan secara baik. Bukan hanya bentuk rumahnya yang dipertahankan keasliannya, melainkan tata letak ruangan serta perabotan juga ditata menurut tempatnya masing-masing ketika rumah tersebut masih ditempati oleh Bung Karno.

Sambutan ketika Petualang Labil masuk  bersama Luis Penu masuk ke dalam rumah ini adalah lukisan “Pura Bali” yang dilukis secara langsung oleh Bung Karno. Bukan hanya lukisannya saja yang dipamerkan, melainkan juga Kayu Kliping yang digunakan oleh Bung Karno untuk menjadi penjepit lukisan agar media lukis menjadi rata dan mudah untuk dilukis.


Di sebelah kiri pintu masuk ada beberapa benda lain seperti biola dan tongkat yang sering digunakan oleh Bung Karno. Dikatakan bahwa pada awalnya Bung Karno merasa frustasi sebab status sebagai tahanan politik Belanda pada saat itu harus membawanya untuk menjalani hukuman, bahkan hubungannya dengan keluarga bangsawan di Ende dibatasi oleh Belanda. Lama-kelamaan Bung Karno menggunakan moment tersebut untuk menyapa masyarakat kecil di Ende dan bertemu dengan misionaris-misionaris seperti Gerardus Huijtink yang saat itu menjadi Pastor Paroki di Ende, dan tongkatnya, digunakan untuk menemani perjalanannya.


Di bagian belakang ada kamar tidur Bung Karno dan istrinya saat pengasingan, Inggit Gamasih. Kamar tidur masih lengkap dengan tempat tidur dan kelambu serta lemari yang pernah digunakan oleh Bung Karno. Bersebelahan dengan kamar tidur adalah ruang yang digunakan untuk berdoa oleh sang proklamator.


“Maaf pak numpang nanya, kamar kecil sebelah mana yah?”

Kamar kecil berada di bagian belakang rumah, tepatnya dekat dengan sumur. Dulu sekali di rumah tersebut tidak ada air untuk minum, namun diusahakan oleh Bung Karno bersama teman-temannya untuk mencari air, hingga akhirnya sumur tersebut digali agar airnya digunakan untuk kebutuhan makan-minum, kebersihan, hingga untuk sholat.


Bergerak ke arah selatan, Petualang Labil bersama Luis menuju ke Taman Permenungan Bung Karno. Tidak satupun dari kita yang tidak tahu Pancasila. Ende merupakan kota dimana Lima Mutiara Bangsa Indonesia ini lahir, dan di bawah Pohon Sukun pada taman itulah, Bung Karno melahirkan pemikiran tersebut yang hingga saat ini kita letakkan sebagai fondasi kehidupan berbangsa kita. 

Pohon Sukun yang dulunya menjadi tempat permenungan Bung Karno tentu sudah tidak ada lagi, akhirnya diganti dengan Pohon Sukun lain, sebagai tanda pada tempat tersebutlah Bung Karno mengkonsepkan Pancasila sebagai falsafah Bangsa Indonesia.

Yang menjadi icon dari taman tersebut adalah Patung Bung Karno yang sedang duduk di sebuah bangku panjang sembari menatap ke laut. Karena banyak yang menyempatkan berfoto di sana, ya sekalian Petualang Labil juga.


“Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah!”

75 tahun adalah perjalanan yang panjang dari sebuah bangsa untuk hidup. Beraneka ragam bahasa dan budaya dipersatukan Bung Karno, idenya berasal dari tempat ini. Dia berjuang hingga akhirnya memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Hari ini kita lihat bencana penyakit corona, tanah yang dirampas, Hak Asasi Manusia yang terus dilanggar, lingkungan yang makin digerus ketamakkan, semua problem bangsa ini seperti ulat dalam daging bangsa kita. Momen kemerdekaan ini mari kita ingat kembali semua perjuangan pendahulu bangsa kita agar kita bisa bersatu membawa Indonesia ke arah yang lebih baik. Jika mereka sudah memulai perjalanan Bangsa Indonesia dengan darah dan air mata, saatnya kita melanjutkannya dengan peluh kita. Ibu Pertiwi tidak perlu menangis lagi.

“Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pendahulunya,”

Selamat merayakan Hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia ke-75. Jaya selalu Indonesia,  salam Petulang Labil!

Monday, July 13, 2020

Ongkang-Ongkang di Koka

Hey Wankawanka, gimana kabar kalian semua? Semoga kalian sehat selalu. Dulu frasa “sehat selalu” bertujuan hanya untuk basa-basi membuka percakapan, tapi di saat pagebluk covid-19 ini, “sehat selalu” adalah kondisi yang benar-benar kita inginkan ketika kita mengucapkannya.

Cerita sebelumnya Petualang Labil bersama Labilers pergi ke Kelimutu di Kabupaten Ende, dan kalian dapat membacanya kembali di sini. Nah, cerita Ongkang-Ongkang di Koka ini adalah lanjutan perjalanan kami di hari yang sama setelah kami bertolak pulang dari Kelimutu.


Sekitar pukul 10.00 ribu rupiah kami menaiki mobil dan kembali menuju Maumere. Pantai Koka ini letaknya memang berada di jalur Trans Flores, hanya saja kita harus masuk sedikit lagi melalui jalan kecil yang sudah rusak digerus air dan tidak diperhatikan oleh pemerintah setempat. Tiket masuknya Rp. 20.000 and, Welcome To My Paradise.

Bentangan pantai yang terletak di Kecamatan Paga tersebut terlihat dari tempat parkir. Di sekitar tempat parkir masyarakat lokal yang bermata pencaharian sebagai pedagang sudah duduk di bawah lopo masing-masing dengan kudapan yang dijual kepada para wisatawan yang umumnya datang dalam kelompok, seperti Petualang Labil dan labilers yang datang secara berkelompok.


“Kakak, beli ini kakak, ini moke kakak, tidak perlu jatuh cinta untuk mabuk kakak,”

Orang banyak di sekitaran pantai, mulai dari anak-anak hingga orang tua dan mereka yang berpakaian tertutup, setengah terbuka, dan sedikit lagi terbuka semuanya. Namanya laut, hawa panas menyelimuti pasir, tapi di Koka ini yang membuat nyaman adalah pohon-pohon di sekitar pantai yang membuat memanjakan kelopak mata apabila kita ingin tidur di sekitaran pantai.

Sambil menunggu Luis yang datangnya belakangan karena baru saja menyelesaikan pekerjaan, Petualang Labil dan Labilers beristirahat sejenak, setelah mendapatkan lopo yang tidak ditempati oleh orang-orang yang datang. Om Supir mobil ikan tiduran di mobil.

”Puput, ayo foto-foto dulu,”

“Okey, aku kumpul chakra dulu,”






Salah satu karakteristik dari pantai yang menarik banyak mata untuk melihat keindahannya adalah bentuk pantai yang seperti huruf M. Bukan huruf “M” kapital, melainkan huruf “m” kecil tanpa kaki. Dua lekukan yang membentuk huruf “m” tersebut disambung oleh sebuah bukit yang tepat berada di tengahnya.

“Tunggu Luis saja dulu baru kita naik ke atas bukit.

Sambil menunggu Luis datang, Petualang Labil berjalan-jalan dulu untuk mengambil beberapa gambar dari pantai berpasir putih dengan bebatuan hitam membatasi area laut dan pasir.




Hingga akhirnya mendung dan Luis datang hamper dalam waktu yang bersamaan. Hari sudah sore, dan tanpa menunggu lama kami berlima mendaki bukit kecil yang menjadi persambungan dua cekungan yang tentu menjadi daya tarik Pantai Koka.

Tiket untuk naik ke bukit seharga Rp. 5000 untuk masing-masing pengunjung. Karena tangga di sini masih sederhana (terbuat dari bamboo dan ditempelkan di dinding bukit) pengunjung harus ekstra hati-hati saat menaiki bukit. Selepas tangga bambu adalah setapak yang menanjak tanpa pegangan di sebelah kiri dan kanan, bermodalkan pijakan pengunjung harus tetap hati-hati hingga tiba di atas bukit




Dari atas bukit, bentuk dari Pantai Koka dapat terlihat dengan sangat jelas. Laut lepas tanpa ujung, dan dua bukit besar yang menyembunyikan pantai indah ini adalah hasil lukisan yang Tuhan bentuk untuk menambah keindahan Pantai Koka. Kami dapat berfoto bebas karena cuman Labilers yang ada di atas bukit ini.


“Eh ayo turun, kita harus segera pulang buat istirahat. Kasihan juga om supir sudah tunggu dari tadi, walaupun nanti kita dibuat lagi kek ikan,”

“Puput, nanti kamu omong dia biar pulang pelan-pelan saja bawa mobilnya, soalnya ada anak kecil jalan dengan kita nih,”

Pukul 17.00 ribu akhirnya kami meninggalkan lokasi Pantai Koka. Perjalanan hari itu, dari pukul 04.00 hingga kami menyelesaikan sehari penuh untuk berpetualang adalah saat yang tidak akan Petualang Labil lupakan. Dari sejak kuliah sudah mengenal Koka dan sedari kecil sudah mengenal Kelimutu, akhirnya syahwat itu terpenuhi juga.

Tapi petualangan Petualang Labil bersama Chent, Puput, Vester dan Luis kali ini belum berakhir yah. Kalian akan Petualang Labil bawa lagi menuju tempat- tempat menarik lainnya di Maumere.. Semoga kalian tetap terhibur di masa pagebluk ini, dan menjadi petualang yang mencintai alam secara bertanggung jawab. Sampai jumpa di cerita selanjutnya.

Friday, May 1, 2020

Ikan

Hey Wankawanka! Kita bertemu lagi! Cerita kali ini masih merupakan lanjutan cerita dari Seri Petualang Labil di Sikka, tapi kali ini bukan di Sikka, hehe.

Sebelum masuk ke cerita, Petualang Labil ingin mengungkapkan semoga pandemic corona ini bisa cepat reda, bila perlu hilang dari muka bumi. Banyak yang meninggal, banyak yang ditinggalkan, banyak yang hidupnya menjadi sulit karena kehilangan pekerjaan, dan banyak lagi penderitaan lain. Mari kita semua berdoa bersama agar penderitaan ini cepat berakhir, para tenaga medis diberikan kekuatan, dan kita diberikan akal sehat supaya bersama-sama dapat mencegah penularan virus ini.

Nah, yang masih pada work from home, homecoming, far from home atau home alone, sambil menemani rutinitas kalian yang agak kurang biasa ini, Petualang Labil akan membagikan kisah saat Petualang Labil bersama teman-teman pergi ke Kelimutu. Ada yang belum tau Kelimutu? Ya udah, cek cokkk!


Waktu itu ketika para hantu belum juga disuruh pulang dan beberapa tuyul mengintip dari jendela kamar, langkah seorang pria masuk membuka gerbang kemudian mengetuk pintu. Adalah om supir yang akan mengantarkan kami menuju ke Danau Kelimutu.

“Kaka, kaka, bangun sudah supaya kita berangkat,”

“Aduh siapa yah? Orang lagi enak tiduran kok dibangunan?”

Labilers yang masih tertidur saat itu dalam keadaan mabuk mimpi langsung bergegas.

“Eh ini siapa punya air liur?”

Begitu pukul 04.30 lebih beberapa menit kami berangkat. Vester yang belum sempat gigi duduk di sebelah kanan supir, sementara Petualang Labil bersama Puput dan Chent di belakang.

“Sebelah kanan supir berarti bapatua Vester gelantungan di daun pintu bro,”

“Bapatua Vester lagi main film Fast and Frustasi,”

Jalanan Maumere masih sepi. Kami bergerak menuju arah barat Flores, sebab di sanalah letak Kelimutu. Lebih tepatnya, Danau Kelimutu yang sudah sangat terkenal sejak jaman uang lima ribu berwarna coklat itu, posisinya berada di antara Kota Maumere dan Kota Ende, hanya saja letaknya berada pada wilayah geografis Kabupaten Ende.

“Adminnya tua nih, masih ingat uang kelimutu,”


Perjalanan melewati kelokan Flores yang sudah sangat terkenal. Om supir begitu piawai mengendarai mobil yang kami pinjam dari kakak sepupunya Puput. Kami yang duduk di belakang  terombang-ambing ke kiri, ke kiri ke kiri manise, sekarang kanan ee, ke kanan, ke kanan ke kanan manise..

“Om supir agak pelan sedikit, kita bukan mau antar nyawa ke Tiwu Ata Polo,”

“Waduh sorry kaka nona, soalnya ini mobil terlalu enak. Power steering, ban besar, tambah dengan saya juga pengalaman biasa kendarai mobil untuk jual ikan dari Maumere sini. Itu kan pick up yang stirnya keras, sekarang kesempatan bawa mobil bagus begini nih,”

“Iya kami bukan ikan om! Tidak lihat ko kami ini tidak disimpan di ice box?”

Dan begitulah om supir. Dia tidak pusing dan terus mengendarai mobil sesukanya. Rencana kami untuk tidur di mobil selama perjalanan pergi gagal total. Kami masih terombang-ambing ke kiri dan kanan. Puput yang berada di sebelah kanan terhuyung-huyung hingga rambut menutupi wajahnya.

“Ahahah, ahaha, kamu lihat Puput. Dia tidak bisa tidur sambil sandar sampai-sampai miring ke kiri. Panggil dia Mingki, Miring Kiri,”

Chent puas dengan tawanya yang tertahan di leher.

Dan begitulah kami akhirnya tiba di parkiran Taman Nasional Danau Kelimutu setelah sebelumnya menjemput kerabat Chent di desa yang bernama Rolling Stone atau dalam sebutan aslinya disebut Watuneso. Sekitar pukul 06.30 kami tiba di Kawasan Kelimutu.

“Wuih dingin juga nih,”

“Tapi sebentar su agak panas, makanya beta pake celana umpan nih,”


Setelah berfoto di bagian pintu masuk kami langsung trekking menuju kawasan danau. Pohon cemara menutupi cahaya pagi menambah romansa dingin di sekitar tengkuk dan ujung jari. Rasa puas sudah menggaruk-garuk seperti asam lambung karena telat makan. Oh ya Wankawanaka, Kelimutu sendiri adalah bahasa daerah yang berarti “Gunung Mendidih.” Kita akan lihat satu persatu tiga danau yang berada di Puncak Gunung Mendidih ini.

Yang pertama kita jumpai adalah Tiwu Ata Polo, atau yang artinya  tempat berkumpulnya jiwa dari orang-orang yang jahat. Biasanya Tiwu ini berwarna merah darah, namun pada kunjungan kami kali ini warnanya menjadi hijau kebiruan. Labilers juga bertemu dengan kerabat Labilers, Ka Itong dan Ka Ani yang sementara berlibur.

“Ketong dari Ende, kalian dari Maumere?”



Setelah berfoto, kami berangkat menuju danau tempat berkumpulnya jiwa muda-mudi atau yang dalam bahasa daerahnya disebut Tiwu Nuwa Muri Ko’o Fai. Tiwu Ata Polo dan Tiwu Nuwa Muri Ko’o Fai letaknya bersebelahan dan hanya dibatasi oleh tebing yang tipis. Karena kami datang saat libur umum, pengunjung pun membludak. Tidak ada yang diperbolehkan untuk mengambil gambar dari bibir danau. Kami pun hanya bisa mengambil gambar dari jarak yang sudah diijinkan.




Danau yang ketiga, yang disebut sebagai tempat berkumpulnya jiwa orang-orang tua yang telah meninggal atau dalam bahasa daerahnya disebut Tiwu Ata Mbupu. Untuk sampai ke Tiwu ini kita harus trekking melalui anak-anak tangga yang sudah disiapkan. Untuk menikmati Tiwu ini pun sudah dibuatkan tugu yang seringnya menjadi tempat berkumpul atau beristirahat para pengunjung. Dari tugu ini pula kita bisa menikmati pemandangan ketiga Tiwu. Tidak lupa juga kami mengambil foto berlatarbelakangkan Tiwu yang tampak hijau gelap dan pekat tersebut.


“Katanya dulu airnya banyak, tapi sekarang sudah berkurang,”



Tempat lain yang menarik perhatian Petualang Labil adalah tempat upacara Pati Ka Du’a Bapu Ata Mata. Tempat tersebut terlihat sakral dengan sebuah gerbang sederhana yang terbuat dari kayu dengan ijuk menjadi atapnya. Di bagian tengahnya ada sebuah altar berbentuk bundar. 

Disebutkan, orang Lio (suku yang mendiami Kabupaten Ende dan sebagian wilayah barat Maumere) sering memberi makan arwah dari para leluhur yang berdiam pada ketiga Tiwu di Taman Nasional Kelimutu ini. Upacara sering dilakukan oleh para Mosalaki (Tua Adat) sembari membawa persembahan berupa makanan dan minuman yang dibawakan di altar bundar. Setelah itu mereka akan menari Gawi sembari bernyanyi dan memanjatkan pujian menggunakann lagu-lagu tradisional.


Taman Nasional Danau Kelimutu juga digunakan masyarakat untuk mencari kehidupan. Bukan hanya soal penginapan di sekitar kaki Gunung Kelimutu, tapi juga masyarakat yang menjajakan kain di sepanjang jalur trekking menuju danau Kelimutu.


“Eh itu ada monyet keluar, kamu pegang baik-baik kamu punya tas. Nanti mereka ambil kalau ada makanan,”

Benar saja, baru juga Chent memperingatkan, suara teriakan terdengar seperti orang kecopetan langsung meninggi. Ternyata tas seorang pengunjung ditarik oleh beberapa ekor monyet, kemudian diseret dan isinya dikocar-kacirkan oleh monyet tersebut. Mendapatkan bungkusan biscuit, mereka kemudian berlalu meninggalkan tas tergeletak di tanah.

Kami kembali pulang. Monyet-monyet memang lumayan banyak, dan sepertinya mereka keluar untuk mencari makan. Puput ketakutan dan memegang Vester berjalan cepat berharap segera sampai di tempat mobil diparkirkan. Petualang Labil bersama Chent masih santai dari belakang.

“Kak Chent, ada permen? Aku mau beri makan monyet yang lagi baca, eh salah, yang lagi di ranting itu,”

“Awas nanti dong kerumun lu,”

Petualang Labil melemparkan permen, dengan sigap diambil si monyet dan segera berlalu.

“Nah, itu langsung pulang kan?”

Beberapa saat kemudian monyet tadi kembali bersama monyet lainnya.

“Bapak kita juga mau permennya pak,”

Eh buset!!!?

*********************

Nah, gitu deh Wankawanka cerita Petualang Labil yang tidak ada hubungan sama sekali antara judul dengan isi cerita. Terima kasih kalian sudah membaca dan semoga bisa menghibur kalian di tengah pandemic ini. Semoga setelah berakhirnya wabah ini kita bisa berpetualang lagi, tapi dengan satu pola pikir yang mencintai lingkungan kita. Jadi kita tidak perlu merusak apapun yang kita temui, entah itu menyampah atau vandal. Dengan begitu bumi kita akan tetap lestari dan terjaga. Salam bumi yang sehat, salam Petualang Labil.


“Bapak, bagi permennya pak,”

Hushh! Bisa-bisanya ikut sampai akhir cerita.