Laman

Friday, May 1, 2020

Ikan

Hey Wankawanka! Kita bertemu lagi! Cerita kali ini masih merupakan lanjutan cerita dari Seri Petualang Labil di Sikka, tapi kali ini bukan di Sikka, hehe.

Sebelum masuk ke cerita, Petualang Labil ingin mengungkapkan semoga pandemic corona ini bisa cepat reda, bila perlu hilang dari muka bumi. Banyak yang meninggal, banyak yang ditinggalkan, banyak yang hidupnya menjadi sulit karena kehilangan pekerjaan, dan banyak lagi penderitaan lain. Mari kita semua berdoa bersama agar penderitaan ini cepat berakhir, para tenaga medis diberikan kekuatan, dan kita diberikan akal sehat supaya bersama-sama dapat mencegah penularan virus ini.

Nah, yang masih pada work from home, homecoming, far from home atau home alone, sambil menemani rutinitas kalian yang agak kurang biasa ini, Petualang Labil akan membagikan kisah saat Petualang Labil bersama teman-teman pergi ke Kelimutu. Ada yang belum tau Kelimutu? Ya udah, cek cokkk!


Waktu itu ketika para hantu belum juga disuruh pulang dan beberapa tuyul mengintip dari jendela kamar, langkah seorang pria masuk membuka gerbang kemudian mengetuk pintu. Adalah om supir yang akan mengantarkan kami menuju ke Danau Kelimutu.

“Kaka, kaka, bangun sudah supaya kita berangkat,”

“Aduh siapa yah? Orang lagi enak tiduran kok dibangunan?”

Labilers yang masih tertidur saat itu dalam keadaan mabuk mimpi langsung bergegas.

“Eh ini siapa punya air liur?”

Begitu pukul 04.30 lebih beberapa menit kami berangkat. Vester yang belum sempat gigi duduk di sebelah kanan supir, sementara Petualang Labil bersama Puput dan Chent di belakang.

“Sebelah kanan supir berarti bapatua Vester gelantungan di daun pintu bro,”

“Bapatua Vester lagi main film Fast and Frustasi,”

Jalanan Maumere masih sepi. Kami bergerak menuju arah barat Flores, sebab di sanalah letak Kelimutu. Lebih tepatnya, Danau Kelimutu yang sudah sangat terkenal sejak jaman uang lima ribu berwarna coklat itu, posisinya berada di antara Kota Maumere dan Kota Ende, hanya saja letaknya berada pada wilayah geografis Kabupaten Ende.

“Adminnya tua nih, masih ingat uang kelimutu,”


Perjalanan melewati kelokan Flores yang sudah sangat terkenal. Om supir begitu piawai mengendarai mobil yang kami pinjam dari kakak sepupunya Puput. Kami yang duduk di belakang  terombang-ambing ke kiri, ke kiri ke kiri manise, sekarang kanan ee, ke kanan, ke kanan ke kanan manise..

“Om supir agak pelan sedikit, kita bukan mau antar nyawa ke Tiwu Ata Polo,”

“Waduh sorry kaka nona, soalnya ini mobil terlalu enak. Power steering, ban besar, tambah dengan saya juga pengalaman biasa kendarai mobil untuk jual ikan dari Maumere sini. Itu kan pick up yang stirnya keras, sekarang kesempatan bawa mobil bagus begini nih,”

“Iya kami bukan ikan om! Tidak lihat ko kami ini tidak disimpan di ice box?”

Dan begitulah om supir. Dia tidak pusing dan terus mengendarai mobil sesukanya. Rencana kami untuk tidur di mobil selama perjalanan pergi gagal total. Kami masih terombang-ambing ke kiri dan kanan. Puput yang berada di sebelah kanan terhuyung-huyung hingga rambut menutupi wajahnya.

“Ahahah, ahaha, kamu lihat Puput. Dia tidak bisa tidur sambil sandar sampai-sampai miring ke kiri. Panggil dia Mingki, Miring Kiri,”

Chent puas dengan tawanya yang tertahan di leher.

Dan begitulah kami akhirnya tiba di parkiran Taman Nasional Danau Kelimutu setelah sebelumnya menjemput kerabat Chent di desa yang bernama Rolling Stone atau dalam sebutan aslinya disebut Watuneso. Sekitar pukul 06.30 kami tiba di Kawasan Kelimutu.

“Wuih dingin juga nih,”

“Tapi sebentar su agak panas, makanya beta pake celana umpan nih,”


Setelah berfoto di bagian pintu masuk kami langsung trekking menuju kawasan danau. Pohon cemara menutupi cahaya pagi menambah romansa dingin di sekitar tengkuk dan ujung jari. Rasa puas sudah menggaruk-garuk seperti asam lambung karena telat makan. Oh ya Wankawanaka, Kelimutu sendiri adalah bahasa daerah yang berarti “Gunung Mendidih.” Kita akan lihat satu persatu tiga danau yang berada di Puncak Gunung Mendidih ini.

Yang pertama kita jumpai adalah Tiwu Ata Polo, atau yang artinya  tempat berkumpulnya jiwa dari orang-orang yang jahat. Biasanya Tiwu ini berwarna merah darah, namun pada kunjungan kami kali ini warnanya menjadi hijau kebiruan. Labilers juga bertemu dengan kerabat Labilers, Ka Itong dan Ka Ani yang sementara berlibur.

“Ketong dari Ende, kalian dari Maumere?”



Setelah berfoto, kami berangkat menuju danau tempat berkumpulnya jiwa muda-mudi atau yang dalam bahasa daerahnya disebut Tiwu Nuwa Muri Ko’o Fai. Tiwu Ata Polo dan Tiwu Nuwa Muri Ko’o Fai letaknya bersebelahan dan hanya dibatasi oleh tebing yang tipis. Karena kami datang saat libur umum, pengunjung pun membludak. Tidak ada yang diperbolehkan untuk mengambil gambar dari bibir danau. Kami pun hanya bisa mengambil gambar dari jarak yang sudah diijinkan.




Danau yang ketiga, yang disebut sebagai tempat berkumpulnya jiwa orang-orang tua yang telah meninggal atau dalam bahasa daerahnya disebut Tiwu Ata Mbupu. Untuk sampai ke Tiwu ini kita harus trekking melalui anak-anak tangga yang sudah disiapkan. Untuk menikmati Tiwu ini pun sudah dibuatkan tugu yang seringnya menjadi tempat berkumpul atau beristirahat para pengunjung. Dari tugu ini pula kita bisa menikmati pemandangan ketiga Tiwu. Tidak lupa juga kami mengambil foto berlatarbelakangkan Tiwu yang tampak hijau gelap dan pekat tersebut.


“Katanya dulu airnya banyak, tapi sekarang sudah berkurang,”



Tempat lain yang menarik perhatian Petualang Labil adalah tempat upacara Pati Ka Du’a Bapu Ata Mata. Tempat tersebut terlihat sakral dengan sebuah gerbang sederhana yang terbuat dari kayu dengan ijuk menjadi atapnya. Di bagian tengahnya ada sebuah altar berbentuk bundar. 

Disebutkan, orang Lio (suku yang mendiami Kabupaten Ende dan sebagian wilayah barat Maumere) sering memberi makan arwah dari para leluhur yang berdiam pada ketiga Tiwu di Taman Nasional Kelimutu ini. Upacara sering dilakukan oleh para Mosalaki (Tua Adat) sembari membawa persembahan berupa makanan dan minuman yang dibawakan di altar bundar. Setelah itu mereka akan menari Gawi sembari bernyanyi dan memanjatkan pujian menggunakann lagu-lagu tradisional.


Taman Nasional Danau Kelimutu juga digunakan masyarakat untuk mencari kehidupan. Bukan hanya soal penginapan di sekitar kaki Gunung Kelimutu, tapi juga masyarakat yang menjajakan kain di sepanjang jalur trekking menuju danau Kelimutu.


“Eh itu ada monyet keluar, kamu pegang baik-baik kamu punya tas. Nanti mereka ambil kalau ada makanan,”

Benar saja, baru juga Chent memperingatkan, suara teriakan terdengar seperti orang kecopetan langsung meninggi. Ternyata tas seorang pengunjung ditarik oleh beberapa ekor monyet, kemudian diseret dan isinya dikocar-kacirkan oleh monyet tersebut. Mendapatkan bungkusan biscuit, mereka kemudian berlalu meninggalkan tas tergeletak di tanah.

Kami kembali pulang. Monyet-monyet memang lumayan banyak, dan sepertinya mereka keluar untuk mencari makan. Puput ketakutan dan memegang Vester berjalan cepat berharap segera sampai di tempat mobil diparkirkan. Petualang Labil bersama Chent masih santai dari belakang.

“Kak Chent, ada permen? Aku mau beri makan monyet yang lagi baca, eh salah, yang lagi di ranting itu,”

“Awas nanti dong kerumun lu,”

Petualang Labil melemparkan permen, dengan sigap diambil si monyet dan segera berlalu.

“Nah, itu langsung pulang kan?”

Beberapa saat kemudian monyet tadi kembali bersama monyet lainnya.

“Bapak kita juga mau permennya pak,”

Eh buset!!!?

*********************

Nah, gitu deh Wankawanka cerita Petualang Labil yang tidak ada hubungan sama sekali antara judul dengan isi cerita. Terima kasih kalian sudah membaca dan semoga bisa menghibur kalian di tengah pandemic ini. Semoga setelah berakhirnya wabah ini kita bisa berpetualang lagi, tapi dengan satu pola pikir yang mencintai lingkungan kita. Jadi kita tidak perlu merusak apapun yang kita temui, entah itu menyampah atau vandal. Dengan begitu bumi kita akan tetap lestari dan terjaga. Salam bumi yang sehat, salam Petualang Labil.


“Bapak, bagi permennya pak,”

Hushh! Bisa-bisanya ikut sampai akhir cerita.