Laman

Tuesday, July 2, 2019

Batu Marmer Tunua

Yeahuu! Hay Wankawanka, apa kabar kalian semua!? Wish everybody health and good! Petualang Labil sendiri? Yah, saya juga dalam keadaan yang sehat dan baik-baik saja dicampuri sedikit rasa galau, sebab dulu salah ambil jurusan waktu kuliah.

“Kasihan lu, tong”

Petualang Labil menyesal kenapa dulu tidak mengambil jurusan Teknik Sipil saat kuliah. Sekarang baru Petualang Labil merasakan akibatnya. Kalau saja dulu kuliahnya Teknik Sipil, jangankan bangunan, masa depan kita pun akan abang bangun sebaik mungkin.

“Bacot lu bang, habis dihantam suanggi lu tong?”


Sudah lebih dari sebulan ini Petualang Labil vakum tidak mengupload cerita Petualang Labil, soalnya nih, Petualang Labil juga sekalian lagi latihan untuk membuat video perjalanan Petualang Labil bersama teman-teman Labilers. Jadi dibuat selang-seling, blog, lalu vlog, lalu blog lagi, vlog lagi, dan begitu terus-menerus. Harapannya, semoga Petualang Labil makin mumpuni biar pembaca blog dan penonton di YouTube tidak menunggu terlalu lama.

Edisi bulan Juli ini, Petualang Labil akan mencerita tentang perjalanan Petualang Labil menuju ke sebuah desa yang sering salah disebutkan orang-orang. Wankawanka pernah dengar Desa Fatumnasi? Sering dijuluki Garden of Eden, Fatumnasi sangatlah indah. Salah satu incaran instagramers adalah batu marmer. Karena sangat erat, hampir semua spot yang ada batu marmer di sana sering disebut terletak di Fatumnasi.


Ternyata, tidak semuanya. Selain berada di Fatumnasi, juga Fatunausus, obyek wisata batu marmer juga terletak di Desa Tunua, Kecamatan Mollo Utara Kabupaten Timor Tengah Selatan. Banyak orang yang mengambil gambar di  Desa Tunua menyebut tempat tersebut sebagai Fatumnasi, padahal sudah berbeda lokasi. Batu Marmer Desa Tunua inilah yang akan Petualang Labil ceritakan edisi bulang Juli ini.

“Teliti lu tong, sekalian teliti juga tuh masa depan.”


Labilers kali ini kita punya Engki sebagai @1st.omen_jr dan Ipit sebagai @ipitsaja, serta Ririn sebagai @_ririnpanie_. Untuk Ririn sepertinya agak special, karena ini baru pertama kalinya kita menapaki jalan labil untuk yang pertama kalinya. Presiden yang paling alay sedunia siapa hayoo?

“Kim Jong Unchhh Unchh Unchh,”


Nah perjalanan dimulai dari Kota Kupang. Bagi yang sudah biasa pergi ke Mollo Utara pasti sudah terbiasa kan? Iya kalau belum buat apa saya menyebut “sudah biasa pergi” tadi? Untuk yang berencana ke sana, Mollo Utara itu cukup jauh, sekitar tiga jam lebih perjalanan darat dari Kota Kupang. Siapkan fisik yang fit juga, fisik yang fit adalah bagian dari perjalanan. Tapi Wankawanka, Mollo Utara itu di India bukan ya?

“Itu Mollo Uttaran tong,”

Yang membedakan Desa Tunua dengan Fatumnasi adalah pertigaan yang ada tugunya (sorry lupa foto), ambil jalan kanan ke Desa Tunua, kalau ke Desa Fatumnasi ambil jalur bagian kiri. Nanti kita akan menjumpai pertigaan dan ambil belok ke kiri, kita akan disambut tugu masuk Desa Tunua. Sampai di sana ambil belokan ke kiri. Kalau Wankawanka ragu silahkan bertanya kepada masyarakat desa, mereka dengan senang hati akan menunjukkan arah ke lokasi bekas tambang marmer.


Dari Desa Tunua kita bisa melihat puncak bukit batu marmer yang sudah ditambang. Posisi pastinya berada di Dusun Dua. Letaknya memang yang paling tinggi di antara dusun lainnya. Hati-hati juga dengan jalannya, yang membuat Ipit gugup setengah mati, baru kenal Tuhan kalau ketemu dengan jalanan yang membuatnya gugup.

Kita pun sampai juga ke lokasi bekas tambang marmer. Di pintu masuk terpampang jelas batu yang bertuliskan perusahaan yang menambang marmer di Desa Tunua. Petualang Labil bersama Labilers memilih untuk memarkir motor di rumah warga dan berjalanan kaki dari pintu masuk ke bekas lokasi tambang. Ciri khas bekas tambang marmer Tunua terpampang jelas, batu dengan bentuk persegi, ukurannya besar, ada yang dibiarkan berserakan ada pula yang disusun menyerupai benteng, dalam dekapan dingin halimun.


Kedatangan kami memang kurang begitu menyenangkan karena sudah sekitar jam 15.00, kabut sudah mulai menutupi bekas lokasi tambang marmer tersebut. Mungkin seperti itulah yang dirasakan Labilers. BERUNTUNG! Bagi Petualang Labil, karena sebelumnya sudah pernah datang ke lokasi ini, dan tidak ada halimun yang menghalangi pemandangan sekitar. Kalian yang penasaran seperti apa tempatnya tanpa kabut bisa dilihat di sini dan instagram Petulang Labil.


Banyak sekali pengunjung yang datang, bahkan ada keluarga yang datang menggunakan tangki air. Ajaib benar daya tarik lokasi ini. Kami naik ke puncak bukit batu, dan halimun makin lama menelan kami. Beberapa gambar mungkin sudah cukup, kami memungut beberapa sampah plastik yang berserakan, dan kami memutuskan untuk kembali ke Kupang setelah menghabiskan waktu kami di sana.

“Itu yang masih buang sampah sembarangan itu, otaknya mungkin jatuh di jalan. Datang dari kota, lalu mengotori desa orang, MALU woyy!”

Nah seperti biasa, pesan Petualang Labil, jangan buang sampah sembarangan yah Wankawanka. Jangan juga bertindak vandal. Apa susahnya coba, misalkan air minum, tidak perlu membeli air minum kemasan, beli saja botol air, lalu airnya dibawa dari rumah. Wankawanka sudah melakukan banyak kontribusi, bukan hanya tidak meninggalkan sampah botol plastik, tapi juga mengurangi penggunaan sampah plastik. Kalau bawa snack, bungkusannya bisa disimpan di dalam tas, ketika pulang ke rumah baru di buang ke tempat sampah.

“Begini kaka, kalau mau makan dan tidak mau pusing dengan bungkusannya, mending kaka makan sekalian dengan bungkusannya,”

Tumben, sehat lu tong?

“Sehat tong, cuman istri saya yang batuk,” by Uus.


Demikian cerita Petualang Labil. Terima kasih kepada Labilers yang sudah menemani Petualang Labil, semoga Ririn tidak bosan, soalnya dia yang sering keram saat di perjalanan. Terima kasih juga wankawankan yang sudah buang kuota dan masa depan membaca Petualang Labil edisi Juli 2019. Semoga pariwisata NTT makin maju, lingkungan kita tetap terjaga, sejahtera juga masyarakatnya. Salam Petualang Labil!