Wohoooooo!
Wohoooooo!
Sepanjang
membelah jalanan kota Ende, sepertinya si Labil kerasukan. Yap! Setelah sekian
lama tidak melaksanakan ritual adventure, kali ini bisa terlaksana lagi.
Bayangkan! Bagaimana penderitaan itu menggerogoti jiwanya yang selalu bebas
bersama angin yang berhembus di antara dedaunan dan bercahaya di bawah lembayun
senja?
Waduhh, Ja’o lupa menyapa. Hai, Labilholic yang sekerang berada di manapun, yang pastinya sedang berada di depan gadget anda masing-masing, apa kabar? Apa, kamu berada di belakang gadget kamu? Terus, bagaimana kamu membaca artikel ini?
“Menghadapkan
screen gadget ke depan cermin dan mulai membacanya,”
Buset,
nyari kerjaannya sampe segitunya. Aku tahu kamu jomblo, tapi please jangan
gila.
“Yups,”
Well,
kembali ke kenyataan hidup. Petualang Labil kali ini bertolak menuju Kota
Pancasila, Kota Ende, kota yang toleransinya sangat tinggi, menurut pengamatan
Petualang Labil. Serius choy, di Ende sini penduduk mayoritas beragama Katolik
dan Islam, tapi sekat agama itu cuman ilusi yang tidak akan bisa membatasi
kehidupan sosial masyarakatnya. Hidup rukun dan damai sudah dijalani penduduk
di Ende sejak dahulu. Mereka tenang, tidak seperti si ibu X yang masih bertanya
“Kamu agamanya apa?” kepada orang yang bersebelahan dengannya di angkutan umum.
Ja’o sedih sekali.
Nah,
Petualang Labil di edisi kali ini ditemani oleh @danielwolo dan @luispenu. Jadi
selama di Ende, @danielwolo yang membantu dalam hal akomodasi dan transportasi
selama seminggu di sana. Keren kan? Punya kenalan di mana-mana tuh emang keren
chuy. Kalau @luispenu kerjanya di Kabupaten Ngada, letaknya bersebelahan dengan
Kabupaten Ende. Kebetulan dia ada di Ende, jadi kita jalannya sekalian. Kami
adalah Labilers!
Tentang bagaimana Labilers bisa tersesat di Kolibari, Petualang Labil diajak oleh @danielwolo yang berteman dengan guide kita kali ini yaitu Tuteh Pharmantara. Karena keduanya bekerja di tempat yang sama yaitu Universitas Flores di Ende, @danielwolo menceritakan kepada Ka Tuteh, sapaan akrabnya, tentang Petualang Labil. Nah, jadinya Labilers diajak bersatu dan memberantas semua penjahat di dunia Marvel Cinematic Universe dalam Avengers Invinity Wars. Ini, efek dari mimpi jadi Spiderman.
Hari
saat itu mendung, mendung murung sambil makan tempurung di dekat sangkar burung
dan hidup yang hampir tak berujung. Sore harinya kami bertolak ke Kolibari.
Labilers menggunakan kendaraan motor roda dua.
Petualang Labil bersama kak Deni, sapaan @danielwolo. Nah kalau dari depan, Petualang Labil tidak kelihatan karena tubuh Ka Deni yang lebar, jadi yang dibonceng di belakang tidak kelihatan. Kalau dilihat dari belakang malah Ka Deni tampak seperti pakai tas. Becanda bang Dewo, becanda.
Jarak
tempuhnya sekitar 30 menit, bahkan kurang. Lalu lintasnya lancar karena mertua
sudah merestui perjalanan ini. Kita bergerak menuju barat kota Ende. Kolibari
terletak di atas bukit, namun bisa ditempuh menggunakan sepeda motor karena
akses jalan sudah dibuka di sana. Kalau tidak, kata Awi, masyarakat Kolibari,
jalannya berbahaya. Ada satu titik tanjakan yang hampir lurus walaupun tidak
miring. Mobil kalau lewat sepertinya agak bahaya. Please, jangan dikritik
karena saya tidak memberikan kartu kuning kepada Presiden. Saya sadar, bahwa
infrastruktur juga untuk menunjang pembangunan manusia, bukan hanya untuk
segelintir orang yang memiliki mobil.
“Kena
deh,”
Nah,
sebagaimana perbukitan banyak yang ditumbuhi tanaman, apalagi musim hujan
tanaman tumbuh dengan keadaan gizi yang sangat baik dan mengkilap hijau. Pun
dengan tanaman di sepanjang perjalanan mendaki ke Kolibari. Tampak rimbun.
Beberapa titik tanaman itu terbuka dan dari sana kota Ende terlihat sangat
jelas. Klimaksnya, adalah Bukit Pandang Kolibari. Wooow! Amazing view!
Wohoooooo! Cekreekk!
Wohoooooo!
Cekreekk!
Petualang
Labil seperti kerasukan lagi. Dari sana, landscape kota Ende terbentang dari
timur ke barat. Menuju ke timur adalah jalan lintas Ende-Maumere, dan di
sebelah barat adalah kawasan Pantai Ndao. Beuh, kesempurnaan dunia ini
diciptkan oleh Tuhan dan diwakili oleh hamparan pemandangan kota Ende yang
dinikmati dari Bukit Pandang Kolibari. Seruput kopi dan rasakan ketika angin
berselancar di atas kulitmu akan meningkatkan kesempurnaan ciptaan Tuhan.
Setelah
menikmati kenikmatan melalui pandangan mata, saatnya memanjakan usus. Lambung
terus menggaruk dinding perut, jadi Labilers memutuskan untuk melanjutkan
perjalanan ke pusat Desa Kolibari. Pemandangan mama yang sedang menenun kain
dan kaum adam sedang mengerjakan rumah adat menyambut Labilers. Ka Tuteh
dielu-elukan sepanjang jalan walaupun dia tidak ikut dalam perburuan gubernur
tahun ini. Sesampainya, air kelapa melicinkan tenggorokan sehingga ubi, pisang,
sambal ikan teri hingga ayam bakar meluncur tanpa hambatan. Makan ala Luffy
chuy.
Kampung
Kolibari ini memberikan pesona kota Ende dari ketinggian. Karena posisi
strategis ini, akhirnya dibuka wisata paralayang pertama di Nusa Tenggara
Timur. Is it great, right?
“Hell
yeah, man!”
Nah,
kalian harus datang untuk mencobanya, Labilholic. Daripada keluar NTT seperti
di Jawa, modal Rp. 300.000 menggunakan pesawat dari Kupang, kalian sudah bisa
datang ke Ende untuk menikmati olahraga yang memacu adrenalin itu. Labilholic
bisa menerbangkan paralayang sendiri, tapi kalau belum punya lisensi,
Labilholic akan didampingi oleh instrukturnya. Jadi kalau tidak kuat menjomblo,
kalian akan didampingi psikiater. Segera! Sebelum gila!
Untuk
start penerbangan, akan dimulai dari Bukit Kelimara. Kalian akan terbang
mengelilingi kota Ende, dan mendarat di kawasan Pantai Ndao. Dan, terhitung
Februari ini Labilholic sudah bisa menikmati wisata yang diresmikan secara
langsung oleh Marsel Petu, bapak Bupati Ende.
Gimana?
Untuk sebuah kampung yang selama ini mensenyapkan diri mereka, Kolibari bisa
menjadi kampung pertama yang memberikan wisata yang pertama kali dibuka di Nusa
Tenggara Timur adalah sebuah prestasi yang hebat kan? Oh iya dong. Sudah
seharusnya setiap tempat di Nusa Tenggara Timur untuk memanfaatkan potensi
alamnya untuk menarik banyak orang menikmati kenikmatan hakiki itu. Masyarakat
harus terus diberikan edukasi agar bisa menjadi masyarakat kreatif yang mandiri
membangun diri, dan bisa berdampak pada bangsa.
Ups,
jangan lupa untuk menjaga selalu keindahan alam ciptaan Sang Agung. Salam
Petualang Labil!
No comments:
Post a Comment