MERDEKA!!
Pekikan kemenangan menggaung lantang di se-antero Nusantara. Merah darah dan putih tulang, menyatu dalam
jahitan bendera berkibar tegak di bawah tudung langit nan biru. Indonesia patut
berbangga, masih diberkati Tuhan hingga usianya yang memasuki umur 71 tahun.
Tepat 17 agustus 2016, kenangan akan proklamasi kemerdekaan oleh Bangsa
Indonesia itu terulang kembali.
Kekayaan
alam Indonesia tidak akan pernah diragukan dunia. Langit biru terus mengawasi
awan yang berkejaran bersama angin. Yang kelelahan beristirahat di puncak
gunung. Sawah menghampar, lautan yang kaya akan ikan dan terumbu cantik. Siapa
yang tidak jatuh cinta dengan keindahan Indonesia?
Motivasi
traveling lahir dari euphoria
peringatan kemenangan Indonesia mengusir penjajah dari Bumi Pertiwi. Kata
orang, gak asik kalo tujuh belasan gak
naik gunung. Dan yah, itu benar. 17 agustus bagi saya merupakan golden moment dalam dunia traveling Indonesia. Menancapkan bendera
di tempat tertinggi. Sedikit terilhami oleh filosofi perjuangan Indonesia,
bahwa cuman perjuangan yang bisa membawa bangsa ini pada puncak kemerdekaan.
Dan puncak yang ingin saya tuju adalah yang tertinggi di Pulau Timor,
ketinggian 2427 mdpl, Puncak Mutis.
Puncak Mutis |
Rencana
pun mulai saya susun. Yang pertama, mencari informasi sebanyak mungkin tentang
Gunung Mutis, perjalanan, penginapan, cuaca dan informasi lain yang diperlukan.
Kemudian menghubungi teman-teman seperjalanan. Semuanya setuju. Sayangnya dari
sebelas yang setuju, cuman empat yang mantap melangkah ke medan perang. Dan
saya perkenalkan teman seperjalanan kali ini. Yang pertama adalah Cible Mesakh,
lalu Ricko Djami dan Wiku Setiadi.
16
Agustus, kami berencana berangkat pada pukul 06.00 pagi agar terhindar dari bus
lintas timor yang memang belum beroperasi pada jam sepagi itu. Manis bibir
berkata tak semanis tangan berbuat, kami baru mulai berangkat pada pukul 09.00.
Masalahnya? Sudah jelas, saya bangun terlambat sehingga membuat yang lain
sangat tertunda :D
Berangkat
dari Kupang menggunakan sepeda motor, perjalanan ditempuh selama tiga jam ke
kota Soe, ibukota Kabupaten Timor Tengah Selatan. Di Kabupaten TTS inilah
tujuan kami berdiri dengan tenang menunggu kami. Di Soe, kami beristirahat
sekitar 90 menit. Sembari makan siang, kami juga membeli sirih pinang dan ubi
di pasar. Ubi ini kami gunakan sebagai bekal, dan sirih pinang untuk diberikan
kepada Bapak Matheus Anin, juru kunci Mutis.
Berlanjut
menuju Fatumnasi, salah satu desa yang berada di kaki Gunung Mutis. Perlu waktu
dua jam berkendara untuk sampai ke sana. Tempatnya sangat sejuk, udara bersih,
dan pemandangan yang masih sangat alami. Hanya saja, jalanan yang sudah rusak
dan sedikit bebatuan. Sangat disayangkan sebab jalanan ini belum diperhatikan
pemerintah, padahal cuman ini akses menuju desa Fatumnasi.
Beberapa Pemandangan di Sebelum Memasuki Fatumnasi |
Begitu
sampai Fatumnasi, kami langsung mencari penginapan Lopo Mutis milik Bpk. Matius
Anin. Kami menyapa setiap orang di sana termaksud Mama, istri Bpk. Anin. Sayang
sekali Bpk Anin tidak bisa kami temui karena berada di desa sebelah dalam
rangka perayaan kemerdekaan. Setelah bertegur sapa, kami langsung menanyakan
harga penginapan. Harganya adalah Rp. 100.000,00 per orang dalam satu malam.
Artinya, kami mesti membayar Rp. 400.000,- untuk satu malam ini. Kami panik.
Sekalipun Fatumnasi bersuhu 15o Celcius, tapi kami berkeringat
mendengarkan harga sewa kamar itu. Kami mundur sejenak, mendiskusikan harga
sewa tersebut. Uang bawaan tidak cukup. Panik semakin menyerang.
Dengan
uang seadaanya yang kami kumpulkan, akhirnya kami mencoba “nego” dengan mama.
Tidak ada perdebatan, mama menyetujui harga yang kami minta. Untunglah, kami
mendapatkan tempat untuk tidur malam ini. Hasil dari “Bermodalkan Iman.” Sisa
uang kami gunakan untuk membayar guide yang akan menemani pendakian kami besok.
Penginapan sederhana dengan rumah kecil berbentuk gasing yang terbalik itu
terletak di halaman belakang rumah Bpk Anin. Pintunya kecil memaksa mereka yang
ingin masuk harus jongkok agar bisa masuk ke dalam.
Cible
dan Wiku masuk untuk tidur, sementara saya dan Ricko mengeksplorasi kilat desa
ini. Pemandangan alami terhampar dengan bentangan yang luas. Matahari hampir
terbenam menambah keindahan Fatumnasi.
Lopo Mutis |
Fatumnasi di Sore Hari |
Saat
malam tiba, banyak pendaki yang bermunculan ke rumah Bpk. Anin, lalu
melanjutkan perjalanan ke Padang di Gunung Mutis. Mereka untuk menginap di
sana. Sementara itu kami bercerita bersama mama. Mama menceritakan beberapa
kejadian astral yang sering menimpa para pengujung. Kebanyakan dari mereka yang
ke sana tersesat. Dipercaya atau tidak, setiap pengunjung yang kesana
diwajibkan untuk singgah di rumah Bpk. Anin. Hal ini adalah jaminan agar tidak
ditimpa hal-hal yang tidak diinginkan. Salah satu yang diceritakan mama adalah
ketika satu rombongan ibu-ibu yang ingin pergi ke Mutis bersama supir mereka,
yang kabarnya mengetahui jalan ke Mutis. Tanpa singgah ke rumah Bpk. Anin,
mereka terus saja melanjutkan perjalanan ke Mutis. Hasilnya? Mereka tersesat.
Bertahan hanya dengan mie instan kering selama tiga hari. Mesin mobil bahkan
tidak mau menyala.
Hari
ketiga, mesin akhirnya bisa dioperasikan. Mereka kembali pulang. Belum sampai
kembali ke Fatumnasi, pada suatu tanjakan, mesin mobil kembali mogok. Akhirnya
ibu-ibu tersebut harus turun dari mobil dan mendorong mobil ke atas. Ditengah
usaha mereka, beberapa bapak yang tidak dikenal datang membantu. Mereka
berhasil mendorong mobil ke atas, dan mesin mobil kembali dinyalakan. Supir
tadi turun dari mobil dan berniat memberikan rokok sebagai balas jasa, tapi bapak-bapak
menolak. Dengan tersenyum tanpa kata, seorang bapak mengisyarakat kepada
rombongan untuk segera pulang. Seorang ibu dari rombongan ingin berterima
kasih, tapi sekejap, bapak-bapak tersebut menghilang. Tak ayal, ia kencing di
celana karena ketakutan.
Waktu
pulang, mereka tidak singgah di rumah Bpk. Anin, hingga mobil mereka mogok
lagi. Hal ini membuat supir frustasi. Seorang warga yang melihat langsung
menghampiri. Warga itu bertanya mereka dari mana, dan mereka menjawab bahwa
mereka dari Mutis. Ketika ditanyakan apakah mereka singgah di rumah Bpk. Anin,
mereka menjawab tidak. Warga tersebut menyarakan agar mereka kembali untuk
meminta permisi sebab mereka tidak singgah. Akhirnya si supir memakai ojek
menemui Bpk. Anin dan menceritakan semua hal yang terjadi dan meminta bantuan
Bpk Anin. Setelah itu baru mereka bisa pulang ke Kupang.
Saya
semakin yakin akan cerita ini, setelah mendengar langsung dari teman saya,
bahwa mereka pergi ke hutan Cagar Alam Mutis. Ketika pulang kembali, masih di
hutan Cagar Alam Mutis, ditengah jalan mereka ada batang pohon yang menghadang.
Beberapa batu besar juga ada di sana. padahal benda-benda itu tidak mereka
temui ketika datang. Mereka harus turun dan membereskan. Waktu saya bertanya
apakah mereka singgah di rumah Bpk. Anin, ia menjawab tidak. Bahkan ia tidak
tahu.
Setelah
bercerita panjang lebar, kami beristirahat. Jam 02.00 kami sudah harus bangun
untuk melakukan pendakian. Keesokan harinya, kami bangun, mempersiapkan segala
hal, terutama pakian yang tebal. Tepat pukul 03.00 bersama guide, kami memulai
perjalanan menuju padang pertama, tempat kami harus memakirkan motor.
Perjalanan ke sana ditempuh selama satu jam, sehingga pukul 04.00 kami sudah
tiba.
Pendaki
lain masih tidur. Pemandangan dari padang pertama sungguh menakjubkan. Bulan
terasa begitu dekat. Malam diterangi cahaya bulan yang merestui pendakian.
Artinya, cuaca cerah. Di sisi lain, terlihat kota. Itu adalah Eban, terletak
juga di bawah kaki Gunung Mutis. Sayang sekali saya tidak mengambil gambar,
karena yang saya gunakan cuman kamera hp biasa :D
Kami
mulai berjalan menuju padang kedua. Jalan tanjakan, gelap hampir memotong asa
hingga putus. Cukup tinggi, dan menipu karena gelap tidak bisa dilihat.
Ternyata padang kedua cukup tinggi. Nafas memburu. Akibat kurang persiapan
fisik sebelum mendaki, rasanya seperti di siksa. Dari belakang, pancaran cahaya
matahari merayap naik ke langit. Ini sudah pukul 05.00 wita.
Kami
lalu bergegas. Dari padang kedua Puncak Mutis sudah terlihat. Perjalanan masih
jauh ternyata. Kami menembusi setiap dedaunan, menanjaki akar pepohonan. Nafas
hampir putus. Kami berencana mengejar sunrise
di puncak, tapi waktu kami sudah tidak sempat. Cahaya mentari sudah merambat
sebagian besar langit. Bola matahari tampak keluar perlahan dari balik
bukit-bukit di arah timur.
Menjelang Fajar Kemerdekaan |
Sungguh
indah. Ia seperti tahta. Penguasa itu memberikan cahaya kepada dunia. Ia
mengkudeta malam, menyingkirkan bulan dan bintang. Pancaran fajar itu menyulap
pepohonan menjadi berwarna emas. Golden
Moment kami mengambil beberapa gambar dengan bendera di genggaman,
berkibar, diantar oleh sang fajar. Fajar kemerdekaan.
Menjemput Kemerdekaan |
Perjalanan
berlanjut. Pukul 07.30 kami tiba di puncak. Saya langsung saja tidur karena
capek sudah sangat menikam saraf hingga terasa sakit. Nafas begitu tersengal.
Teman-teman lain membuat perapian untuk menghangatkan diri. Inilah puncak
Mutis. Di sana tertulis dengan jelas, 2427 mdpl. Setinggi itukah posisi kami
saat ini? Inilah puncaknya. Kami langsung menancapkan bendera yang diikat pada
sebatang kayu. Mengabadikan moment ini merupakan tradisi wajib dari traveling
itu sendiri. Kini, Merah Putih kami sudah antarkan hingga Puncak Mutis. Dari
sana, kami berdiri lebih tinggi dari bukit-bukit di sekitar gunung mutis.
Anginnya mengepak lebih keras dari angin lainnya. Bendera ini berkibar lebih
tinggi.
Puncak Mutis |
Kami
beristirahat cukup lama, hingga pendaki lain mulai bermunculan mengikuti jejak
kami. Ternyata, pada 17 agustus 2016 kami ada pendaki pertama yang mencapai
Puncak Mutis. Kami menyantap ubi yang sudah dimasak mama sebelum kami memulai
perjalanan dari penginapan bersama dengan pendaki lain. Ternyata ada beberapa
yang tersesat karena tidak ditemani guide. Mereka terpisah dari regu mereka.
Untungnya mereka tersesat tidak lama dan bertemu regu mereka di puncak. Pukul
10.00 kami memulai perjalanan pulang, menuruni gunung.
Perjalanan
pulang ini menjadi lebih sulit. Cible kaki kanan terkilir semenjak mendaki
merasa kesulitan ketika menuruni gunung. Wiku merasa hal yang sama pada kaki
kirinya. Riko merasa sakit di pangkal paha, tapi ia cepat pulih. Walaupun
begitu, kami akhirnya sampai di padang pertama pukul 01.30 dan langsung pulang
ke penginapan untuk beristirahat sebelum kembali ke Kupang.
Sembari turun gunung kami juga memungut sampah
plastik bekas makanan dari para pendaki yang tidak tahu diri seenaknya membuang
sampah di gunung. Bahkan beberapa dari mereka melihat kami memungut sampah,
tapi tetap saja membuang sampah. Saya teringat akan perkataan Presiden Soekarno
yang sangat dikenal Indonesia, seperti sebuah ramalan bagi saya, “Perjuanganku
lebih mudah karena mengusir penjajah. Tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena
melawan bangsamu.” Tidak menjaga kebersihan seperti ini adalah salah satu
contohnya.
Dalam
perjalanan turun juga kami melihat asap menggumpal di hutan pada salah satu
sisi gunung. Jelas kebakaran hutan. Itu adalah contoh dari mereka yang belum
bisa memerdekakakan diri dari ketidaktahuan mereka akan pentingnya menjaga
lingkungan dan kebersihannya. Jika gunung dipenuhi sampah, atau botak karena
hutannya dibakar, apa yang menarik? Tidak ada. Yang terlahir hanyalah kesialan
belaka.
Hutan yang Terbakar dan Sampah di Gunung Mutis |
Ingat!
Kalian bepergian, jangan mengambil apapun selain foto. Jangan meninggalkan
apapun selain jejak. Sampah adalah tanggung jawab kalian. Sampah itu bukan
bagian dari alam, melainkan manusia. Sebagaimana tanggung jawab, jagalah
tanggung jawabmu, jangan melemparkan kepada pihak yang tidak bertanggung jawab
atas tanggung jawab yang kau emban.
Ini
perjalanan kami. Inilah Trip Kami. Kenangan yang kami ciptakan, menjadi cerita,
menjadi pelajaran. Perjalanan ini melahirkan pelajaran. Berjalan, agar dapat
belajar. Sampai juga di cerita berikutnya. Salam Kemerdekaan!
MERDEKA!! |
Thank you kakz.. Bantu share 😄
ReplyDelete