Hay Wankawanka! Selamat datang kembali di Blog Petualang Labil, blognya orang yang suka jalan-jalan tapi dalam kondisi jiwa yang tidak stabil. Bagaimana kaka dorang punya tahun 2019? Impressive? Well setelah kemarin sempat ditolak akhirnya Petualang Labil bisa menerima kenyataan itu.
“Yang tidak menyapa balik dia anggota DPR,”
Nah, kali ini Petualang Labil bersama Puput dan Vester akan membawa Wankawanka sekalian menuju satu tempat di Kabupaten Sikka, tempat yang lumayan jauh dari keramaian Maumere, ibukota Kabupaten Sikka.
Tempat itu adalah Seminari Ritapiret! Btw, persinggahan ke Seminari Ritapiret ini masih dalam perjalanan hari pertama Petualang Labil bersama Vester dan Puput di Kabupaten Sikka. Sebelumnya Labilers sudah bertandang ke Lela, dalam perjalanan pulang dari Lela kami memutuskan singgah dulu di Seminari Ritapiret.
Tempat itu adalah Seminari Ritapiret! Btw, persinggahan ke Seminari Ritapiret ini masih dalam perjalanan hari pertama Petualang Labil bersama Vester dan Puput di Kabupaten Sikka. Sebelumnya Labilers sudah bertandang ke Lela, dalam perjalanan pulang dari Lela kami memutuskan singgah dulu di Seminari Ritapiret.
Seminari Ritapiret ini adalah tempatnya para calon imam dalam Gereja Katolik menempuh pendidikan. Tentu, kehidupan yang dijalani berbeda dengan pelajar maupun mahasiswa pada umumnya. Para calon imam tersebut diwajibkan untuk tinggal pada asrama yang telah disiapkan oleh Seminari. Percaya lah, pembaca, kehidupan berasrama itu penuh dengan warna yang berbeda dengan kehidupan orang muda lainnya.
“Siapa suruh lu dulu tidak lanjut ke sana?”
Letaknya Seminari Ritapiret berada di Nita, Kabupaten Sikka tentunya. Mengapa Labilers singgah di tempat ini? Well, tak lain dan tak bukan karena ingin melihat sebuah kamar yang pernah digunakan oleh Paus Yohanes Paulus II. Biar kita bisa memahami sudut-sudut Ritapiret, perjalanan ini dipandu oleh Frater Theo (Selanjutnya ditulis Fr. Theo).
“Eh, tunggu, beta video call b punya bapa do,”
Puput segera saja mengambil handphone dari dalam tas miliknya.
Tut.. Tut.. Tuut..
“Hallo Puput?”
“Heh bapa, ini video call bukan telepon biasa, jangan taruh di telinga begitu,”
“Oh, iya ewh, bapa sonde sadar,”
Vester dan Fr. Theo cengengesan. Petualang Labil mending foto-foto dulu, takut tertawa, nanti disanksi.
“Aih kampret tuh bocah, nanti baru bapa cubit di ginjal,”
Yah, sembari video call bersama Si Bapak, Labilers masuk ke dalam kamar yang pernah digunakan oleh Paus Yohanes Paulus II waktu mengunjungi Sikka pada tahun 1989.
“Lu masih di lutut choeg,”
Kamar milik Paus yang bernama asli Karol Josef Wojtyla tersebut terdiri dari dua kamar besar. Satu di depan sebagai ruang tamu, dan yang kedua sebagai kamar tidur. Pada bagian ruang tamu, menurut Fr. Theo belum ada perubahan dekorasi seperti saat kedatangan Paus Yohanes Paulus II.
“Kalau foto-foto ini pasang setelah beliau pulang dari sini,”
Sementara itu,
“Ini Bapa, ketong sekarang di Bapa Paus punya kamar,”
“Coba kasih dekat lagi dengan itu Tabernakel,”
Tabernakel tersebut berisikan relikui berupa darah dari Paus Yohanes Paulus II. Btw Puput, silahkan lanjutkan video callnya.
“Waktu itu Mgr. Stanislao Dziwisz yang mengantarkan langsung dari Vatikan ke Ritapiret,” jelas Fr. Theo.
Selepas melihat kamar, kami sedikit berkeliling melihat kapela, aula, ruang makan anak seminari, juga lapangan basket dan lapangan sepakbola sambil Puput menjelaskan pada Si Bapak yang sedang bernostalgia.
“Ah, ini pagar belakang di pekuburan nih dulu Bapak sering panjat untuk bolos,”
Wahh, Bapakkkk!? Bapak Naruto!?
Akhirnya senja menjemput, setelah berkeliling dan melihat tempat bolos Si Bapak, kami memutuskan untuk segera pulang.
“Pulang? Sabar dulu. Kita harus singgah Nilo,”
“Nilo kalau malam bagus. Sudah ada lampu di sana, kakak mereka bisa lihat Maumere dari sana,”
“Gimana? Nekat?”
“Ja’o nih melangkah bersama angin, jadi kemana saja let’s go. Mau bertemu suster lagi juga boleh,”
Baiklah, kami pun berterima kasih kepada Fr. Theo yang sudah menemani Labilers berkeliling di Seminari Ritapiret. Semoga mereka yang sedang belajar di Seminari Ritapiret bisa menjadi Gembala yang baik, yang mencari hingga satu domba yang tersesat dan membawanya kepada kawanan domba lainnya.
“Puput, masih ingat jalan ke sana?”
“Dulu ke sana siang hari jadi aman. Tapi kalau hampir malam begini kayanya masih ingat,”
Kayanya!?
Berpasrah pada takdir kami pun menjalankan motor kami menuju Nilo. Kita akan memasuki “Tersesat di Bukit Nilo” pada edisi Blog Petualang Labil berikutnya. Terima kasih yang sudah membaca, yakinlah kalian tidak akan bertumbuh dewasa setelah membaca blog ini. Yang penting tetap menjaga alam dan lingkungan, kita tetap menghormati bumi dan segala kebudayaan dan perbedaan yang hidup di atasnya. Saat melakukan perjalanan jangan membuang sampah sembarangan dan hindari tindakan vandalisme. Salam lestari, salam Petualang Labil.