Lagi
lapar, memang kebetulan barusan gajian nih. Wah, saatnya mencari makan yang
enak, bergizi, dan kemungkinan kenyangnya bisa buat kita tidak makan selama
sebulan. Hmm, labilholic punya ide, kira-kira makan apa yang semua kategori di
atas bisa masuk? Makanan berukuran besar? Boleh juga! Yang besar, enak dan
bergizi? Seafood, lezat! Bisa jadi
ide bagus tuh.
Wah,
emang kalau Petualang Labil kalau lagi lapar jadinya suka lupa, lupa menyapa
kalian semua. Hay, labilholic, gimana kabar kalian? Gimana makan siang kalian,
tidak makan teman kan? Makan uang negara? Janganlah, dua-duanya bukan hal baik
untuk dilakukan. Kalau ada yang melakukan, sama sekali bukan rekomendasi
Petualang Labil guys.
Nih,
kembali soal lapar, kita perlu makan. Makan
apa saja enak. Tapi, kayanya ada satu makanan yang tidak bisa dimakan
yaitu Gurita.
“Bukannya
kawan kalau lapar semua bisa dimakan, kecuali racun?”
Ini
gurita bukan sembarang gurita chuy. Ini adalah Teluk Gurita. Mana ada orang
bisa makan teluk? Telur iya, tapi digoreng dulu atau dibuat dadar, paten chuy.
Soal
Teluk Gurita, ini menjadi tempat terakhir dari rangkaian Petulang Labil
jalan-jalan ke Kabupaten Belu setelah ke Fulan Fehan, Benteng Tujuh Lapis dan
Air Terjun Mauhalek. Kalau labilholic punya rekomendasi tempat lain di Atambua,
komen di fanpage facebook Petualang
Labil yah.
Minggu,
setelah mengikuti perayaan misa pertama di Katedral Atambua, bersama sohib kece
@rudiadu labilers langsung nge-motor
menuju Teluk Gurita. Hampir saja kita terus ke Pos Batas Mota’ain, tapi insting
bolang kita kuat jadinya tidak kesasar sampai Mota’ain. Rahasianya? Tinggal
baca papan petunjuk lalu lintas saja, mudah kan?
Teluk
ini tepatnya terletak di Kecamatan Kakuluk Mesak. Kira-kira sekitar 45 menit
kami berkendara, dengan jalan yang memutar-memutar bagai hubungan yang
digantung dan menuruni bukit yang tampak kering, karena memang saat itu lagi
musim kering, jadi rumput-rumput yang tumbuh pada kulit perbukitan itu
menguning, dahaganya luar biasa. Rasanya seperti hati yang tidak pernah
disirami oleh kasih sayang. Seperti jomblo yang benar-benar butuh bantuan medis
biar tidak mati konyol.
Jalanan menuju teluk masih sangat mulus. Hanya
saja ada satu titik yang rusak, yaitu jembatan kecil yang sudah roboh. Masih
bisa dilalui, hanya saja mesti hati-hati. Kalau kalian sok melaju dengan
kecepatan Komeng, bahaya guys. Di sepanjang jalan pun ada beberapa kolam buatan
menyambut kalian. Memasuki daerah pantai jalan raya terbentang berdampingan
dengan Pantai Berlui. Angin laut memang terasa hangat bercampur dengan bau
garam. Terpaanya yang sepoi bikin labilers ngantuk.
Labilers
mencoba untuk menaiki bukit. Dari atas kelihatan laut yang terbentang begitu
luas. Cuaca cukup panas, jadi labilers menikmati pemandangan keren itu sambil
berteduh di bawah pohon. Lautnya kelihatan tenang, hempasan ombak-ombak kecil
mengalir bersama angin yang bertiup pelan menghardik panas membawa kesejukan. Warna
kontras rumput yang tua menguning dengan birunya laut seperti menyihir.
Labilholic
harus tahu bahwa Kaka Slank pada tahun 2017 juga mengunjungi tempat ini. Dia
dimintai oleh Pemerintah Kabupaten Belu untuk membantu mempromosikan
tempat-tempat pariwisata yang ada di Kabupaten Belu. Satu dari beberapa hal
yang dilakukan Kaka Slank snorkeling di sekitaran Teluk Gurita
ini.
“Memangnya
aman? Bukannya…”
Sebenarnya
bukan rekomendasi kalau menurut Petualang Labil, karena saat ini di Teluk
Gurita ini cukup banyak buayanya. Buayanya banyak uang dan sudah berkeluarga
tapi tetap saja mencari mangsa. Memang dasar buaya!
Tapi serius, tempat
ini banyak buayanya, dalam artian buaya yang sebenarnya. Kalau begitu, ganti
nama saja yah, Teluk Buaya?
Terkait
nama, ada hal lain juga yang ingin Petualang Labil sampaikan kalau Teluk Gurita
ini memiliki nama lain, yaitu Kuit Namon. Dulunya, berdasarkan informasi yang
Petualang Labil berhasil rangkum, Kuit Namon digunakan sebagai pintu masuk
pedagang dari Asia dan Eropa untuk membawa barang dagangannya, walaupun mereka
juga masuk ke Timor untuk mencari cendana juga. Karena topografi pelabuhan yang
strategis, yaitu diapiti oleh dua bukit, Kuit Namon akhirnya menjadi pelabuhan tradisional.
Suatu
hari, sebuah kapal dari Spanyol datang dan melakukan kegiatan perdagangan di
sana. Tak disangka, tentakel gurita tiba-tiba melilit kapal yang sedang
berlabuh tersebut. Sial! Killer Bee dalam wujud Hachibi? Ternyata bukan,
teman-teman. Hanya saja, kapal tersebut akhirnya tenggelam. Hingga saat ini
pun, bangkai kapal masih ada di dasar Kuit Namon namun berwujud fosil, seperti
ikan kering di asrama dulu.
Maka,
walaupun buaya saat ini menjadi geng mafia yang menguasai Teluk Gurita, tapi
nama Teluk Gurita tidak bisa diganti dengan nama lain, karena ada cerita yang
menjadi dasar pemberian nama Teluk Gurita itu. Gurita merujuk pada Kuit sebagai
bahasa daerah.
Selesai
mengambil beberapa gambar, Labilers beranjak pulang. Sudah hampir menjelang
tengah hari, perjalanan balik ke Kupang akan memakan waktu. Jadi Labilers
segera bergegas meninggalkan Teluk Gurita, kembali ke Atambua, dan kembali ke
Kupang.
Sekian dulu cerita soal Kuit Namon a.k.a Teluk
Gurita ini. Jangan lupa Labilholic untuk terus melestarikan semua tempat
pariwisata yang ada di Nusa Tenggara Timur. Tidak membuang sampah sembarangan
dan tidak melakukan tindakan vandal adalah hal paling kecil yang dapat kita
lakukan, bukan? Dan juga, mari kita saling mendukung agar tidak ada privatisasi
maupun kepentingan individu atas tempat pariwisata di Nusa Tenggara Timur,
apalagi sampai merenggut nyawa masyarakat Nusa Tenggara Timur. Salam kemajuan
pariwisata Nusa Tenggara Timur, salam Petualang Labil!