Siapa
yang tidak tahu dengan kerajinan yang satu ini? Tikar. Tentu saja tikar sudah
akrab dengan kehidupan manusia, karena selalu digunakan, khususnya sebagai
media alas dengan cara dilentangkan di lantai ketika seseorang atau beberapa
orang duduk maupun baring-baring di lantai.
Dalam
bahasa Manggarai, tikar dikenal dengan istilah Loce. Sudah jelas bahwa Loce merupakan
satu kesatuan yang tidak dapat dilepaskan dari kehidupan orang Manggarai. Nahh
di Manggarai, dari barat hingga timur Manggarai, loce menjadi sangat akrab dengan kehidupan masyarakat. Selain
fungsi umum tikar/loce yang
disebutkan di atas, loce juga
memiliki fungsi khusus, misalnya dalam upacara perkawinan orang Manggarai,
digunakan sebagai alas duduk ketika menerima tamu keluarga dalam proses masuk
minta, dan beberapa yang lainya.
Dalam
catalog Pameran Etnik 2009 yang berjudul “Tikar, Karya Seni Wanita Manggarai” disebutkan bahwa loce merupakan hasil karya seni yang dibuat oleh perempuan manggarai.
Hanya saja tidak diketahui mulai dari kapan karya seni ini mulai dibuat. Namun
yang pasti, ketika teknologi sudah ditemukan, orang-orang manggarai semakin
bergelut dengan alam untuk terus mencari bahan-bahan yang dapat digunakan untuk
menunjuang hidup mereka.
Loce
dibuat dengan bahan dasar Re’a atau yang sering kita kenal dengan istilah
daun pandan. Proses pembuatan itu sendiri diberi nama Rojok/Nanang. Tahap-tahap pengerjaannya adalah sebagai berikut:
- Re’a dipotong dari pohonnya.
- Setelah dipotong, re’a dibersihkan dengan cara dikeluarkan duri dengan menggunakan pisau.
- Permukaan re’a diraut menggunakan belahan bamboo atau koes dengan cara dihaluskan berulang kali hingga permukaan menjadi lembut.
- Bhuka, atau menggulung daun yang sudah lembut.
- Setelah bhuka, daun tersebut akan direbus hingga mendidih.
- Apabila ingin re’a tersebut tersebut berwarna putih bersih, maka akan direndam di sungai yang mengalir selama satu malam. Namun jika menginginkan berwarna hitam atau coklat, maka re’a direndam di kubangan lumpur atau kubangan kerbau selama satu malam juga.
- Sehabis direndam, maka dijemur dan setelah kering dijemur akan diraut ulang hingga lembut.
- Lata, atau re’a disayat dan kemudian disesuaikan lebar daun sesuai dengan kebutuhan.
- Bagian dalam daun atau kone dikeluarkan setelah disayat. Istilah dikeluarkan tersebut adalah cuat.
- Pewarnaan menggunakan pewarna dari ramuan tradisional.
- Lalu dijemur.
- Proses selanjutnya adalah dianyam. Proses ini seringnya memakan waktu dari 1-2 minggu, dan tergantung pada musim kerja. Penganyaman ini dilakukan di waktu luang sembari menunggu musim tanam. Proses penganyaman dilakukan di halaman rumah atau di teras rumah.
- Setelah dianyam, maka selanjutnya adalah memasang hiasan pada keempat sisi tikat menggunakan kain warna merah. Tikar yang sudah dipasang hiasan tersebut disebut loce umpuk.
2. Pantangan
Ketika
masa lampau, para gadis penganyam tikar biasa memanfaatkan malam terang bulan
(waktu itu belum ada penerang listrik). Mereka selalu duduk bersama di halaman
kampung untuk menganyam atau sekedar meraut daun pandan. Kesempatan ini tidak
dimanfaatkan secara sembarangan oleh muda/mudi untuk memadu kasih.
Beberapa pantangan dalam membuat
tikar (rojok) adalah yang pertama,
ketika ada warga kampung yang meninggal, maka para pengrajin tikat dilarang
untuk menganyam ataupun mempersiapkan semua bahan untuk menenun tikar.
Pantangan lain adalah, daun pandan atau re’a
yang sudah dipersiapkan tidak boleh dilanggar. Apabila dilanggar, maka
dipercaya daun-daun yang telah dipersiapkan itu akan mudah rapuh dan akhirnya
putus.
3. Pewarna
Masa-masa lampai,
orang-orang Manggarai menggunakan pewarna-pewarna alami untuk membuat tikar
menjadi berwarna. Mereka menggunakan kulit pohon sejenis damar hutan, yang
dalam bahasa Manggarai disebut haju
cepang dan haju nara. Untuk
menghasilkan warna coklat dan merah, masyarakat menggunakan cepang yang dicincang kemudian direbus
bersama dengan daun pandan. Sedangkan untuk membuat warna hitam, masyarakat
membuatnya dari kulit pohon nara, tao
untuk warna biru, daun pohon lait
untuk warna kuning, menggunakan haju uwu
untuk membuat warna ungu, dan pelepah pisang yang sudah tua untuk membuat warna
hitam.
Sayang sekali penggunaan
pewarna-pewarna alamiah tersebut sudah tidak berlaku zaman ini karena
pewarna-pewarna alamiah tersebut sudah digeser oleh pewarna buatan seperti
kesumba yang oleh orang banyak mudah untuk dijumpai di toko-toko.
1. 4. Tikar
Dalam Kehidupan Sosial Masyarakat.
Umumnya dalam kehidupan
orang Manggarai, tikar dipakai untuk mengalas tempat duduk. Cara menggunakannya
adalah dengan dibentangkan di lantai atau dek rumah panggung. Tikar juga bisa
digunakan untuk alas tidur. Ketika menerima tamu, tuan rumah langsung
membentang tikar sambil mempersilahkan tamu untuk duduk. Istilahnya dalam
bahasa Manggarai disebut dengan wisi loce.
Dalam
setiap upacara ada Manggarai, yang dilaksanakan di rumah adat (mbaru gendang maupun rumah tinggal
lainnya, orang Manggarai tidak pernah menggunakan meja, kursi, sofa ataupaun
yang lainnya. Mereka hanya menggelar tikar dan melangsungkan upacara adat
dengan beralaskan tikar.
Sekian review singkat saya mengenai
Tikar Manggarai. Semoga saja bisa berguna bagi semuanya. Terus jaga budaya Nusa
Tenggara Timur agar bisa dinikmati oleh generasi berikutnya. Terima kasih.